Jawabannya rumit. Tampak sangat sulit. Pada tempat pertama, bagaimana pun Dito ditetapkan sebagai Menpora akibat dari keputusan politik Presiden Joko Widodo. Keterikatan politik dengan presiden pastinya terjalin. Keterikatan itu bisa menjadi salah satu sebab dan faktor yang menyulitkan Dito memisahkan politik dan olahraga.Â
Terlebih lagi, keterikatan Dito dengan partai Golongan Karya. Bukan tak mungkin, Dito menjadi corong dari partai yang berlambang pohon beringin tersebut untuk menyuarakan pesan-pesan partai di kabinet dan kepada masyarakat. Ketika Dito mampu mengangkat dunia olahraga naik ke permukaan, pada saat itu pula publik tak hanya meniliki Dito sebagai pribadi, tetapi juga partai yang mengusungnya.Â
Pada tempat kedua, dari sisi usia Menpora yang baru berusia 32 tahun, Dito mempunyai prospek yang cerah di bidang kepemimpinan di tanah air.Â
Menjadi menteri kabinet Jokowi menjadi momentum Dito untuk menaikan pamornya, terlebih khusus sebagai politikus. Performa sebagai menteri bisa menjadi bahan penilaian rakyat atas kepantasan Dito sebagai seorang pemimpin serentak politikus di masa yang depan. Sebenarnya, jabatan Menpora bisa menjadi investasi jangka panjang untuk karirnya sebagai politikus. Â
Untuk itu, sangat sulit secara total untuk memisahkan olahraga dengan politik. Ibarat mata uang, Dito sepertinya mengemban dua sisi yang berbeda dalam jabatannya sebagai menteri olahraga RI.Â
Ketika pemisahan itu sangat sulit terealisasi, tugas Dito makin tertantang. Tantangannya, pertama, tak gampang mencampuradukan antara politik dengan olahraga.Â
Olahraga mesti menjadi fokus pertama dan utama, dan motif politik pribadi dan golongan perlu dikesampingkan. Bagaimana pun, ketika Dito berhasil tampil meyakinkan sebagai Menpora, efek politik untuknya dan partai pengusungnya pasti datang dengan sendirinya.Â
Dua, sikap politik Menpora mesti memihak dunia olahraga dan bukannya golongan politiknya. Ketika politik ikut campur di dunia olahraga, Dito juga perlu mempunyai sikap politik yang jelas sebagai Menpora. Sikap politik itu tak memihak kepentingan politik semata. Sikap politik itu tak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.Â
Akan tetapi, sikap politiknya sebagai Menpora lebih bertujuan pada kepentingan olahraga semata-mata. Misalnya, apabila persoalan penolakan timnas Israel di piala dunia U20 terjadi di masa kepemimpinannya, Menpora perlu mempunyai sikap politik yang benar-benar bertujuan demi kepentingan dan keuntungan dunia olahraga, dan bukannya mengorbankan olahraga demi kepentingan politik.Â
Yang paling santer diberitakan kala Gubernur I Wayan Koster kembali menolak atlet asal Israel terlibat dalam World Beach Games di Bali. Ini akan menjadi tantangan Dito dalam memberikan sikap politik serentak solusi atas persoalan ini.Â
Tiga, memanfaatkan komunikasi politik demi keuntungan olahraga. Presiden Jokowi pastinya tak asal pilih sosok yang duduk sebagai Menpora jika tanpa kedekatannya dengan Partai Golkar.Â