Tentu saja, harga yang terjangkau menjadi salah satu motif. Motif itu dibarengi dengan merek yang melekat. Â
Akan tetapi, saya memutuskan berhenti dari kebiasan thrifting karena ternyata apa yang dilakukan bukan semata-mata kebutuhan, tetapi karena faktor keinginan semata. Dalam mana, saya membelinya karena pola pikir bahwa barangnya berasal dari luar  negeri, barang bermerek, dan berharga murah.
Saya berhenti juga dibarengi dengan niat untuk hidup minimalis. Hidup minimalis ini menekankan kepemilikan barang seturut kebutuhan semata. Kalau tak dibutuhkan, lebih baik diberikan kepada orang lain atau juga tak boleh dibeli.
Untuk itu, saya coba mengubah mindset. Termasuk, mindset dalam membeli pakaian bekas. Â
Pertama-tama, saya selalu memikirkan bahwa setiap barang yang terjual sudah pernah terpakai. Pola pikir ini pun dibarengi dengan pikiran apakah pakaian itu aman ataukah tidak. Karena sudah terpakai, ya saya kerap menilai jika barang itu belum tentu aman.
Pola pikir ini yang selalu merem saya ketika masuk di toko penjualan baju bekas. Empat bulan lalu, saya dan dua orang teman masuk toko penjualan baju-baju bekas.
Kedua teman itu begitu antusias ketika menemukan sepatu murah dan bermerek. Keduanya membeli sepatu itu. Hanya saya tak membeli lantaran sudah terbangun pola pikir bahwa tiap barang sudah pernah terpakai dan belum tentu aman untuk kesehatan. Â
Kedua, tidak semua barang bekas impor itu berkualitas. Banyak orang terjebak pada pola pikir yang salah tentang barang-barang produk luar negeri. Apalagi jika mereknya sudah dikenal luas. Gegara pola pikir ini, terasa ada niat untuk membeli dan mendapatkan barang seperti itu. Termasuk membeli baju-baju bekas impor yang bermerek.
Padahal, tak semua barang yang terjual itu masih mempertahankan kualitasnya. Tak sedikit barang yang luntur bersamaan waktu lantaran lama tak terpakai atau juga sudah pernah terpakai sebelumnya. Karena itu, daripada kita membuang uang untuk membeli baju-baju impor bekas hanya karena merek, lebih baik kita mencari barang-barang baru tetapi nyaman untuk diri sendiri. Â
Ketiga, Tak boleh kumpul barang. Hemat saya, prilaku thrifing juga sangat lekat dengan kebiasaan untuk mengoleksi dan mengumpulkan barang.
Barangkali tak sedikit orang yang membeli baju-baju impor bekas faktor lifestyle daripada kebutuhan. Masalahnya, ketika hal ini sering dilakukan. Jadinya, barang itu belum tak terpakai dan hanya tersimpan di lemari pakaian. Â