Bayern Muenchen mengikuti langkah Chelsea dan Benfica melaju ke babak perempat final Liga Champions Eropa 2022/23. Selain Muenchen, AC Milan juga mendapatkan satu tiket ketika menyingkirkan Tottenham Hotspur.
Muenchen menyingkirkan klub kaya raya, Paris Saint-Germain (agregat 3-0). Di leg pertama, klub yang bermain di Bundesliga Jerman ini menang 1-0 atas PSG di stadion Parc des Princes. Alih-alih membalikkan keadaan di Allianz Arena, kandang Muenchen, PSG malah kembali tumbang dengan kebobolan 2 gol.
Situasi persis yang sama dengan Tottenham Hotspur yang ditahan imbang oleh AC Milan. Milan datang ke markas Tottenham dengan keunggulan 1-0 dari leg pertama di San Siro. Namun, Tottenham gagal memanfaatkan status sebagai tuan rumah. Harry Kane dan kawan-kawan gagal meruntuhkan kesolidan Milan selama 90 menit. Milan pun melaju dengan agregat 1-0.
Proyek gagal PSG Sejak 2012?
Tersingkirnya PSG memberikan tanda kegagalan dari proyek yang telah dianggarkan oleh PSG. Tepatnya sejak PSG diambilalih kepemilikannya oleh pengusaha asal Qatar.
Banyak pemain mahal dibeli termasuk Neymar Jr dan Kylian Mbappe. Musim 2021/22 lalu menjadi salah satu contoh lain, di mana PSG menggelontorkan banyak uang untuk mendatangkan dan mengontrak pemain mahal, termasuk Lionel Messi dari Barcelona.
Langkah PSG itu gagal total. Prestasi terbaik PSG adalah masuk final Liga Champions di tahun 2020, namun kalah 1-0 dari Muenchen. Sejak saat itu, langkah PSG di Liga Champions Eropa tak begitu meyakinkan. Bahkan kedatangan dan kehadiran Messi di PSG tak mengakhiri tren negatif PSG.
Di level domestik, PSG seperti tak tertandingi. Dari 10 musim terakhir, PSG meraih 8 trofi dari 10 musim League 1. Kesuksesan di pentas domestik berjalan terbalik di Liga Champions. Pasalnya, PSG selau tersingkir di babak 16 besar selama lima kali dari 7 musim terakhir.
Apabila ditiliki lebih jauh, PSG sebenarnya belum menemukan sistem permainan yang terorganisir. PSG tak memiliki karakter dalam pola permainan. Hal itu bisa terlihat dari langkah klub dalam urusan transaksi pemain.
PSG terlihat mendatangkan pemain bukan semata-mata karena kebutuhan klub. Akan tetapi, langkah yang diambil cenderung karena faktor nama besar pemain.
Ketika mendatangkan Messi dari Barcelona, PSG tampak tertarik pada nama besar si pemain daripada kebutuhan tim. Padahal, PSG sudah mempunyai Kylian Mbappe dan Neymar. Dua pemain ini sudah sebenarnya memberikan dampak kuat untuk tim.
Begitu juga, ketika PSG menampung Sergio Ramos yang pergi dari Real Madrid. Ramos juga diberi tempat dan malahan menjadi salah satu andalan pelatih Christophe Galtier di lini belakang.
Akibat lanjutnya adalah tempat pemain yang mempunyai prospek yang baik untuk tim tersingkir dan tak berkembang. Barangkali PSG merasa sakit hati lantaran Choupo-Moting, salah satu pencetak gol ke gawang PSG dini hari tadi adalah mantan pemain PSG. Moting pindah karena kalah persaingan dan tak mendapat tempat di lini depan PSG.
Dampak lainnya adalah ketidakseimbangan di dalam tim. Ketidakseimbangan itu disebabkan karena gap antara pemain bintang dan talenta-talenta muda yang memiliki prospek yang cerah. Talenta-talenta muda dibiarkan pergi, termasuk Kingsley Coman dan Eric Maxim Choupo-Moting yang menjadi tulang punggung PSG di dua leg saat bermain kontra PSG.
Tersingkirnya PSG musim ini menunjukkan kegagalan proyek tim kaya ini. Hal ini pun membahasakan bahwa PSG sebenarnya membutuhkan pelatih yang bisa memberikan karakter pada permainan tim. Karakter permainan tim itu sekiranya bisa menjadi identitas tim.
Efek lanjutnya, klub harus mengiakan keputusan pelatih. Keleluasaan pada kinerja pelatih harus mendapat tempat, termasuk langkah pelatih mendepak pemain yang tak cocok dengan sistemnya dan juga mencari pemain yang sesuai kebutuhan tim dan bisa memberikan keseimbangan untuk tim.
Galtier yang sudah "makan garam" di Liga Perancis gagal memberikan wajah baru untuk PSG. Pelatih asal Perancis juga terjebak pada sistem sebelumnya yang mana lebih terpaku pemain bintang seperti Messi, Mbappe, dan Neymar di lini tengah. Jadinya, Galtier tak mempunyai pemain yang naik ke permukaan dan memberikan alternatif ketika para pemain bintang gagal bersinar. Â
Pelajaran dari Bayern Muenchen untuk PSG
Secara tradisi, Muenchen memang mempunyai rekam jejak yang mengagumkan di Liga Champions Eropa. Musim ini, Muenchen termasuk tim yang berada pada daftar favorit sebagai juara turnamen.
Kelebihan Muenchen adalah mentalitas tim. Mentalitas tim itu ditopangi oleh sistem kerja klub, dalam mana klub sangat menekankan permainan tim. Karakter Muenchen sebagai klub yang menekankan kesatuan dari permainan tim. Lalu, Muenchen juga sudah mempunyai identitas tersendiri sebagai tim.
Dengan pelatih muda, Julian Nagelsmann, Muenchen memiliki permainan menyerang dan menekan sebagai tim. Tak bertumpu pada satu atau dua pemain. Ketika melakukan serangan, tiap pemain akan disiplin menjaga tempat dan melakukan serangan sebagai tim.
Sistem itu pun menguntungkan C. Choupo-Moting yang bermain sebagai striker tunggal. Bahkan Nagelsman mampu mengubah peran Thomas Muller sebagai penyerang nomor 10 dan memberikan tempat di sisi penyerangan Muenchen pada dua pemain muda K. Coman dan J. Musiala.
Dari komposisi skuad, Muenchen mempunyai pemain yang memang cocok dengan sistem permainan tim dan memberikan keseimbangan. Tak ada nama yang menonjol dalam skuad Muenchen. Bahkan Nagelsmann berani meminggirkan Cancelo yang dipinjamkan dari Manchester City karena sudah tampak tak memberikan efek untuk permainan tim.
Di sini, Muenchen sebenarnya memberikan pelajaran untuk PSG bahwa guna meraih kesuksesan klub perlu mengevaluasi sistem kerja klub, terlebih khusus dalam urusan perekrutan pelatih dan para pemain. PSG perlu mencari pelatih yang mempunyai karakter yang kuat dan dibarengi oleh kesediaan klub untuk mendukung sistem kerja pelatih.
Mantan gelandang timnas Inggris dan pemain Munchen, Owen Hargreaves menilai bahwa secara individual PSG mempunyai pemain yang brilian, tetapi tak bermain sebagai tim. Â
Membeli pemain tak hanya cukup bermodalkan popularitas, tetapi sesuai dengan kebutuhan semata. Muenchen membuktikannya ketika mendatangkan K. Coman dan Choupo-Moting, yang nota bene sebelumnya pernah berseragam PSG. Kedua pemain ini berhasil menjadi pemain penting di PSG karena klub mempunyai identitas yang cocok dengan bakat dan kemampuan mereka.
Untuk musimnya yang ke-11 di bawah kendali pengusaha kaya asal Qatar, PSG kembali gagal meraih kesuksesan di Liga Champions. Musim ini langkah PSG berakhir dengan menyakitkan lantaran tersingkir di babak 16 besar dengan kekalahan di dua leg dari Muenchen.
Seperti terlansir dari BBC Sport (9/3/23), Galtier menyatakan bahwa dia tak tahu apakah kegagalan PSG di Liga Champions merupakan pelajaran, namun dia menilai bahwa timnya cukup frustrasi dengan hasil yang dialami. Frustrasi memang sulit dihindari lantaran impian klub sejak 2012 di bawah kendali perusahan asal Qatar selalu berakhir hampa.
Jalan selanjutnya untuk PSG adalah mengevaluasi kerja tim agar bisa bangkit dan tak menyia-nyiakan investasi besar yang sudah berjalan selama 10 musim.
Salam Bola
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI