Sejatinya, film merupakan karya fiktif. Pelaku, kejadian, dan jalan cerita merupakan rekayasa yang dibuat dan diciptakan.
Kendati demikian, ada film yang diangkat dari peristiwa nyata. Ada pula film yang bersentuhan dengan realitas nyata dan keseharian masyarakat namun tetap menjaga aspek kefiktifannya.Â
Namun, kadang kala batas antara nilai kefiktifan dan realitas nyata yang dituangkan dalam sebuah film tak begitu tebal. Boleh saja, isi film berisi hal-hal yang fiktif, namun realitas yang membumbui film tak lepas dari kenyataan yang sesungguhnya.Â
Hemat saya, hal ini yang memberikan nilai lebih pada kualitas sebuah film tatkala realitas keseharian ikut dilibatkan. Jadinya, alur cerita film pun seperti benar-benar terjadi. Pikiran penonton terbawa kepada situasi yang seolah benar-benar terjadi. Â
Persoalannya, ketika realitas yang direkayasa membentuk pandangan negatif. Realitas dikaburkan demi kepentingan pasar. Realitas nyata direndahkan.Â
Akibat lanjutnya, persepsi tercipta. Penonton seolah yakin bahwa apa yang ditampilkan dalam film adalah hal yang memang terjadi di kehidupan nyata. Hal ini seperti ini sangat sulit dihindari.Â
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan di balik protes pemerintah Filipina pada film berjudul Plane.Â
Film garapan sutradara Jean-Francois Richet yang dibuat tahun 2023 ini dan dibintangi oleh Gerard Butler mendapat kritik keras dari pemerintah Filipina lantaran ada sisi yang diangkat di dalam film tak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya.
Butler memerankan sebagai seorang pilot senior di sebuah pesawat komersial bernama Brodie Torrance. Dalam kisahnya, pesawat yang diterbangkan oleh Torrance mengalami gangguan teknis karena pengaruh cuaca.Â
Guna menyelamatkan para penumpang, Torrance dan co-pilotnya memilih untuk mendaratkan pesawat di pulau Jolo, Sulu, yang masih  berada dalam teritori pemerintah Filipina.Â