Kasus viral penganiayan yang melibatkan anak pejabat negara berinisial M (20 tahun) memantik reaksi dari publik. Reaksi publik tak hanya mengenai apa yang telah dilakukan oleh si M, motif dari masalah, tetapi juga bersentuhan dengan latar belakang dari si M.Â
Gaya hidup si M dikupas tuntas oleh publik. Muaranya pun bersentuhan dengan kehidupan keluarga si M.
Gegara gaya hidup si M yang terpampang di media sosial, publik pun ikut menyoroti posisi orangtuanya. Ayahnya si M merupakan pejabat negara yang memegang posisi kepala Bagian Umum Kantaro Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Â
Pendek kisah, si M ditangkap dan diproses secara hukum. Tak sampai di situ, gegara gaya hidupnya, ayah dari pelaku yang merupakan pejabat negara mendapat apes dari ketegasan menteri keuangan, Sri Mulyani.Â
Melansir berita dari Kompas.com (24/2/23), ayah dari si M yang merupakan pejabat dirjen Pajak  dicopot dari tugas dan jabatannya dan bahkan diperiksa oleh inspektorat keuangan.Â
Pemeriksaan itu berkaitan dengan gaya hidup si M. Tentu saja, gaya hidup si M berhubungan dengan pendapatan (income) yang diperoleh oleh ayahnya.Â
Tak masalah ketika gaya hidup si M tak bersentuhan dengan posisi ayahnya. Menjadi rumit apabila gaya hidup itu merupakan buah dari penyelewengan dan kesewenang-wenangan dalam menyalahgunakan profesi sebagai pejabat negara.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani tak ragu untuk membersihkan jajarannya, terlebih lagi apa yang terjadi ikut menciderai upayanya membetulkan transpransi keuangan di negara ini termasuk urusan pajak.
Pada titik ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menunjukkan sisi ketegasan yang patut diapresiasi. Ketika ada persoalan yang mulai merambat ke institusi, beliau tak segan mengambil tindakan tegas agar isu yang berkembang tak menjatuhkan wibawa institusi.
Langkah tegas dan cepat yang telah diambil pun ikut memberikan efek positif pada citra Sri Mulyani sebagai menteri. Dalam mana, beliau memainkan peran sebagai pemimpin yang menunjukkan ketegasan pada waktu yang tepat dan cepat.Â
Bukan tak mungkin, apabila kasus itu dimainkan dalam pusaran media sosial, efeknya akan makin besar dan menciderai wibawah lembaga. Namun, ketika langkah cepat diambil, persoalan yang melingkupi salah satu pejabatnya pun bisa dinetralisir lantaran si pejabat sudah keluar dari tugas dan jabatannya.Â
Selain belajar dari ketegasan Sri Mulyani sebagai menteri, juga kasus M pun memberikan pelajaran pada kehidupan pejabat negara.Â
Hemat saya, ada tiga pelajaran dari kasus yang bersentuhan dengan M dan ayahnya, yang merupakan pejabat negara.Â
Pertama, jabatan orangtua, baik yang melekat pada ayah atau pun  ibu bukanlah milik seluruh keluarga. Kalau hanya salah satu yang berjabatan tinggi, yang lain tak boleh merasa seolah-olah berjabatan tinggi.
Misalnya, hanya ayah yang duduk sebagai anggota DPR, maka istri dan anak-anak bukanlah anggota DPR.Â
Artinya, kehidupan anggota keluarga yang tak berjabatan mesti mengikuti standar tertentu. Jabatan adalah amanah untuk salah satu anggota keluarga dan bukanlah keistimewahan untuk semua anggota keluarga.Â
Untuk itu, anggota keluarga tak boleh menuntut lebih dari jabatan yang dipegang. Malahan, sama-sama menjaga jabatan itu dengan cara tak menodainya.Â
Kedua, peringatan bagi pejabat publik untuk menghidupi tanggung jawab tak hanya di kantor tetapi juga dalam kehidupan keluarga dan kehidupan sosial.Â
Secara sempit, jabatan itu hanya berkaitan dengan posisi di lanskap kantor. Kendati demikian, konsekuensi lanjut dari jabatan itu mesti tercermin dalam konteks kehidupan sosial dan keluarga.
Sebagai pejabat publik seseorang memberikan teladan kepada sesama. Akibat lanjutnya, kehidupan keluarga pun memikul tanggung jawab yang sama. Paling tidak, jabatan yang diemban tercermin dalam cara hidup yang santun di keluarga.
Bagaimana pun, seseorang terpilih sebagai pejabat lantaran kompetensi yang dimiliki. Karena itu, kompetensi itu menyata dalam kehidupan harian.Â
Ketiga, tak menyalahgunakan jabatan demi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok.
Jabatan politik atau publik tak boleh sewenang-wenang dipakai demi kepentingan keluarga, pribadi, dan kelompok. Hal ini sudah digariskan sejak lama.Â
Akan tetapi, tak jarang orang melanggar hal tersebut. Kecenderungannya adalah memanfaatkan jabatan negara untuk menggolkan kepentingan pribadi dan keluarga. Â
Ujung-ujungnya, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme terjadi lantaran tak menghargai jabatan yang dimiliki. Atau juga menganggap jabatan itu sebagai instrumen untuk menggolkan kepenting pribadi namun mengorbankan kepentingan umum.
Maka dari itu, kasus yang menimpa keluarga si M dan ketegasan Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menjadi peringatan kepada pejabat negara untuk tak salah memanfaatkan jabatan negara yang dipercayakan.Â
Jabatan di lingkup negara adalah tanggung jawab yang mesti dijalankan dengan sepenuh hati dan jujur. Praktik penyelewengan mesti dihindari, dan berupaya menghargai jabatan itu selama duduk dalam kursi jabatan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H