Ketika euforia keberhasilan timnas Indonesia U20 tembus ke Piala Asia 2023 belum lekang dari ingatan pecinta timnas Indonesia, kita malah dihadapkan kejadian yang cukup miris. Kerusuhan suporter di stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur (1/10/22).Â
Diduga, kerusuhan ini dipicu oleh ketidakpuasan atas hasil laga pekan ke-11 derbi antara Persebaya Surabaya dan Arema Malang dalam lanjutan Liga I 2022-23.
Arema Malang yang tak pernah kalah dari rival abadinya, Persebaya Surabaya (3-2) selama 23 tahun di stadion Kanjuruhan tampak mengamuk ketika laga dari kedua tim berakhir.Â
Kerusuhan itu tak hanya menyebabkan kerusakan material. Lebih dari itu, kerusuhan itu menghilangkan ratusan nyawa.Â
Sebagaimana terlansir dalam Kompas.com (2/10/22), kerusuhan di Kanjuruhan Malang telah menghilang 127 nyawa dan 180 luka-luka dan sementara dirawat di rumah sakit.Â
Catatan ini tentu saja membuat kita mengelus dada. Tega-teganya sikap dukungan dan kecintaan pada tim sepak bola berujung pada sikap yang anarkis seperti yang terjadi di stadion Kanjuruhan.Â
Kerusuhan itu menjadi pukulan telak untuk dunia sepak bola di tanah air. Wajah sepak bola kita tercabik-cabik oleh mentalitas barbar yang tak rendah hati menerima kenyataan yang terjadi.
Sejatinya, menerima kekalahan adalah tanda sportivitas, bukan saja pemain dan pelatih, tetapi juga suporter. Â
Lebih jauh, Â kejadian ini sangat jelas menunjukkan mentalitas kita sebagai suporter sepak bola. Kita masih jauh dari panggang api apabila dinilai sebagai suporter yang berkelas, berwibawa, dan bermatabat.
Pasalnya, kategori sebagai suporter yang bermatabat lekat dengan sosok yang siap menerima kekalahan tim yang disayangi dan merayakan kemenangan tanpa merendahkan pihak lain. Sama halnya juga terjadi pada mentalitas pemain dan pelatih yang seharusnya lapang dada untuk menerima setiap konsekuensi di lapangan. Â