Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Tanda-tanda Sudah Menjadi Orangtua yang "Bullying" untuk Anak

30 Juli 2022   20:14 Diperbarui: 30 Juli 2022   20:14 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan anak. Foto: Shutterstock via Kompas.com

Tingkah laku kita berkaitan erat dari latar belakang tertentu dan pengalaman masa lalu. Barangkali latar belakang yang paling mendasar itu adalah linkup keluarga.

Di keluarga, kita memulai petualangan hidup. Pelbagai pengalaman kita alami dan rekam hingga membentuk karakter tertentu.  

Untuk itu, setiap kali kita hendak menilai tingkah laku seseorang, kita perlu mengecek dan mengevaluasi latar belakang orang itu dan juga pengalaman masa lalu yang melingkupinya, terlebih khusus di lingkup keluarga.

Seorang teman kerja, sebut saja Mark, selalu mempunyai masalah dengan rekan kerjanya. Sebab utamanya adalah Mark dipandang sebagai pribadi yang kerap melakukan perundungan  atau bullying untuk rekan kerjanya.

Perbuatan bullying-nya itu menyata lewat kata-kata menghina dan merendahkan. Bahkan untuk urusan sepeleh saja, dia tak jarang mengeluarkan kata-kata  kasar dan menghina walaupun itu dilakukan di depan banyak orang.

Setelah ditelusuri, tingkah lakunya itu berkaitan dengan pengalamannya sewaktu masih berada di Sekolah Menengah Pertama. Dia adalah korban perundungan.

Menurut teman dekatnya, sewaktu SMP dia kerap menjadi bahan olokan dari kakak-kakak tingkat dan teman sekelasnya. Situasi ini ternyata menimbulkan luka batin dan membentuknya sebagai pribadi yang mau membalas pengalaman masa lalu dengan melakukannya pada orang lain.

Belum lagi situasi di keluarganya, di mana ayahnya dikenal sebagai pribadi yang keras. Karena bentuk fisik Mark agak berbeda dari saudara-saudaranya, dia pun dipanggil bukan dengan nama yang sebenarnya, tetapi dengan ciri fisik yang dimilikinya.

Hal yang sama, hemat saya, juga terjadi dari pelaku perundungan, terlebih khusus anak-anak. Perbuatan mereka bisa dicek dari keluarga mereka dan pengalaman masa lalu.  

Situasi keluarga, termasuk perlakuan orangtua pada anak juga bisa menjadi salah satu sebab dari perbuatan perundungan yang dilakukan oleh seorang anak.

Dengan kata lain, bisa saja terjadi orangtua juga secara tak langsung menjadi pelaku bullying pada anaknya sendiri. Efeknya, anak juga meniru hal yang sama dan melakukannya dengan teman-temannya.

Hemat saya, tanda-tanda orangtua menjadi pelaku bullying bisa nampak pada tiga hal berikut:

Pertama, Orangtua suka mengolok anak.

Saya ingat tetangga kami yang mengolok anaknya dengan sebutan "Datuk Maringgih." Sosok Datuk Maringgih adalah salah satu tokoh dari sinetron Siti Nurbaya yang hits di kampung kami dan ditayangkan pada tahun 90-an.

Postur tinggi dan kurus Datuk Maringgih menjadi bahan olokan. Kebetulan tetangga kami ini juga berpostur tinggi dan kurus. Karena kesamaan postur yang sama, orangtuanya memanggilnya dengan sebutan Datuk Maringgih.

Tetangga juga memanggil nama yang sama. Dia sebenarnya tidak menyukainya.
Hal itu terlihat ketika dia sudah masuk SMP, di mana dia sangat marah ketika ada temannya yang memanggil dengan sebutan Datuk Maringgih. 

Bahkan dia berkelahi dan melakukan kekerasan kepada siapa saja yang memanggil dengan sebutan itu.

Contoh seperti ini menjadi bahan pelajaran untuk setiap orangtua. Mengolok anak dengan sebutan atau panggilan tertentu bukanlah hal yang menyenangkan, tetapi itu menjadi hal yang menyakitkan dan membuat anak untuk melakukan pada orang lain.

Kedua, Orangtua suka membuat perbandingan anak di antara saudara atau dengan anak-anak lain.

Perbandingan kerap menimbulkan beban batin. Terlebih khusus apabila perbandingan itu lebih mengunggulkan anak lain daripada anak sendiri.

Karena ini, anak merasa diri tak diterima dalam keluarga dan bisa kehilangan kepercayaan diri. Situasi ini bisa membangkitkan pemberontakan pada anak.

Pemberontakan itu bisa dibuat dengan meluapkannya pada hal-hal yang tak baik, seperti melakukan kekerasan fisik dan mental kepada orang lain.

Juga, hal ini menghadirkan luka batin. Ketika luka batin tak diolah, hal itu terus berdiam di dalam diri.

Tanpa disadari luka batin itu malah meledak ketika ada sesuatu hal yang membangkitkannya.

Seorang teman begitu marah kepada adik kelasnya. Setelah dicek, ternyata wajah dari adik kelasnya itu serupa dengan wajah dari pamannya yang pernah melukainya sewaktu dia masih kecil.

Beruntung, teman ini mau terbuka dengan persoalannya sehingga dia mau mengolah situasinya. Persoalannya, ketika luka batin karena perlakuan di keluarga tidak diolah, hal itu malah menimbulkan masalah di kemudian hari.

Salah satu sebab dari luka batin itu adalah perbandingan yang dibuat oleh orangtua di antara saudara atau pun perbandingan anak sendiri dengan orang lain. Jadi, sangat perlu upaya untuk menghindari perbandingan yang merendahkan dan melukai anak.

Ketiga, Pembiaran pada anak yang melakukan kesalahan.

Tak jarang terjadi jika orangtua juga membiarkan anak melakukan kesalahan. Tak ada teguran. Tak dipedulikan dan malah didukung.

Misalnya ketika anak kedapatan berkelahi dengan teman-temannya. Bukannya menasehati anak untuk tidak melakukan hal tersebut, malah mencoba untuk membela anak dan mendukung anak untuk membalas perbuatan yang sama.

Perlakuan ini bisa membangun kepercayaan diri pada anak, dalam mana perbuatannya diamini dan didukung oleh orangtua.

Padahal, kalau seorang anak dinasehati untuk tak melakukan hal yang sama atau pun menghindari perbuatan yang bercela, dia pastinya berupaya melihat sisi positifnya. 

Misalnya, dia tak mengulangi perbuatan yang sama atau pun menghindari setiap hal yang membuatnya terjebak pada perbuatan bersalah.

Sikap pembiaran orangtua pada kesalahan yang dilakukan anak bisa menunjukkan rasa tidak tanggung jawab dari orangtua dan perundungan pada mentalitas anak. Bukannya anak diarahkan pada jalan tepat, malah anak dijebak pada perbuatan yang salah.

Karenanya, orangtua tak boleh lari dari tanggung jawab, berupa menasehati anak apabila melakukan kesalahan atau juga menuntun anak pada jalan yang tepat.

Sekiranya, kita bukanlah orangtua yang bersikap bullying pada anak-anak kita. Kita semestinya menjadi orangtua yang melawan setiap perbuatan perundungan yang melibatakan diri kita sebagai orangtua dan anak-anak kita.

Salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun