Situasi ini makin ditopang oleh pola pikir masyarakat pada umumnya.Â
Paling tidak, ada tiga pola pikir yang diceritakan oleh bapak ini, yang hemat saya, juga terjadi di tengah masyarakat kami di Flores, NTT.
Pertama, pandangan tentang menjadi petani itu sebagai kerja kotor.
Tak sedikit orang tak mau bekerja di kebun atau menjadi petani karena menilai pekerjaan itu sebagai pekerjaan kotor. Makanya, tak sedikit anak muda yang berupaya untuk mencari pekerjaan lain, selain menjadi petani.Â
Selain itu, orangtua memiliki pandangan yang persis sama pun berupaya menyekolahkan anaknya hingga kuliah dan mendorong mereka untuk mencari pekerjaan selain menjadi petani.Â
Sangatlah biasa, orangtua tak ingin agar anaknya bekerja di kebun sebagaimana dirinya. Sebaliknya, sangat jarang, orangtua menginginkan anaknya bekerja sebagai petani, tetapi petani yang memiliki pola kerja yang lebih berkembang.Â
Sebenarnya lewat pendidikan, anak-anak bisa terdidik untuk menjadi petani yang memiliki inovasi dan daya kerja yang berbeda dari apa yang sudah dan sementara lakukan oleh petani lain.
Kedua, pola pikir yang menilai bahwa menjadi petani hanya untuk orang yang gagal di bangku pendidikan.Â
Bapak bersama saudara-saudaranya menjadi petani karena dulu orangtuanya tak mempunyai uang untuk menyekolahkan mereka.Â
Sementara itu, beberapa orang tetangganya menjadi petani karena gagal di bangku sekolah.Â