Barangkali realitas pengunduran diri beberapa Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang dinyatakan lulus tak hanya merumitkan pemerintah, tetapi juga menyakitkan hati orang-orang yang tak lulus ujian CPNS.
Pasalnya, tak sedikit orang yang mati-matian berjuang hanya mau lulus PNS. Akan tetapi, di balik upaya kuat itu, persaingan di antara pelamar juga begitu tinggi.Â
Dalam satu pos kerja yang hanya membutuhkan 1 atau pun 2 PNS, pelamarnya bisa lebih dari 10 orang.Â
Persaingan kian ketat ketika para pelamar berasal dari lintas generasi dan tahun kelulusan. Tak sedikit calon yang sudah mengikuti ujian penjaringan PNS lebih dari 5 kali. Ada pula yang sudah 2 kali. Dan, ada yang baru menjalani  pengalaman pertama.Â
Faktor pengalaman juga bisa mempengaruhi tingkat pengetahuan setiap calon.
Maka dari itu, ujian menjadi PNS menjadi momentum untuk mencari sosok yang tepat untuk mengisi posisi tertentu dalam lingkup pemerintahan.Â
Bisa dikatakan, yang dinyatakan lulus CPNS adalah mereka yang dinilai layak berdasarkan hasil akumulasi nilai yang ditetapkan berdasar standar kelulusan.Â
Sementara itu, yang belum lulus harus menanti kesempatan ujian berikutnya.Â
Untuk itu, sangat disesalkan ketika yang sudah dinyatakan lulus malah mengundurkan diri. Secara tak langsung mereka "menyakitkan" hati dari orang-orang yang berusaha mati-matian untuk lulus tetapi tak lulus. Â
Menjadi ironis, yang lulus CPNS menyatakan undur diri, sementara yang belum lulus malah dipandang "sindir" dalam konteks sosial tertentu.Â
Untuk konteks wilayah Flores, NTT pada umumnya, menjadi PNS adalah impian banyak orang. Tak ayal, banyak orang berpkiri bahwa tujuan berkuliah dilatari oleh pikiran untuk menjadi PNS setelah lulus.Â
Benar saja, banjir pelamar ujian masuk PNS sering melimpah. Satu pos lamaran yang hanya membutuhkan 1 atau 2 orang bisa diperbutkan oleh 10 orang.Â
Kendati situasinya demikian, impian menjadi PNS tetap menjadi pilihan banyak orang. Orang tak peduli apakah kuota yang ditetapkan begitu sedikit sehingga peluangnya begitu tipis untuk lulus.Â
Pilihan ini bisa saja terbentuk oleh pola pikir yang sudah terbangun sekian tahun.
Salah satu pola pikirnya adalah lulus menjadi PNS membahasakan kesuksesan yang dijalankan di bangku kuliah.Â
Menjadi PNS seolah menjadi tepian terakhir untuk kehidupan yang layak. Selain jaminan bulanan berupa gaji yang pasti, juga ini mnyangkut posisi dan soal jaminan setelah pensiun.
Pilihan ini seolah menjadi jawaban atas tawaran kehidupan yang cukup rumit untuk konteks di Flores. Sehingga menjadi PNS menjadi jawaban atas situasi yang terjadi.Â
Pikiran seperti ini tak secara total salah. Akan tetapi, hal ini seolah mengurung pola pikir masyarakat dalam menilik peluang kerja lain.Â
Selain itu, ini membangkitkan sikap gengsi. Menjadi PNS dinilai sebagai hal yang berharga daripada pekerjaan lainnya. Bahkan ada yang pernah disindir secara tak langsung gegara tak lulus CPNS. Â
Seorang teman sempat bercerita tentang pengalamannya. Dia agak kecewa sekaligus risih setiap kali bertemu dengan mama mantunya.
Suaminya sudah menjadi PNS sebagai seorang guru SD. Sementara dia hanyalah guru di sekolah swasta. Â
Relasinya dengan mama mantunya kurang hangat. Alasannya, dia satu-satunya anak mantu yang belum berstatuskan sebagai PNS. Anak mantu lainnya sudah menjadi PNS.
Tak jarang, mama mantunya menyampaikan kata-kata sindiran secara tak langsung untuknya karena belum menjadi PNS.Â
Jadinya, dia jarang berkunjung ke rumah keluarga dari suaminya karena perlakuan yang terjadi.Â
Ini adalah salah satu contoh di mana masyarakat menilai PNS sebagai hal yang sangat berharga dalam konteks sosial tertentu.Â
Padahal, apa pun pekerjaan selalu berhagar apabila dikerjakan dengan  sepenuh hati. Juga, peluang lain selalu terbuka asalkan ada komitmen dan keberanian untuk memulai.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H