Seorang teman berkisah tentang pengalamannya bekerja selama dua tahun di sebuah negara maju.
Selain menceritakan pelbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, dia juga berkisah tentang cara hidup masyarakat di negara itu.
Cara hidup itu melingkupi perlakuan masyarakat dengan dirinya yang berasal dari negara berkembang.
Menurutnya, kendati masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai SARA, tetapi perlakuan diskriminatif masih sangat sulit untuk dihindari.
Perlakuan itu bisa nampak lewat relasi dan percakapan harian. Cara berkomunikasi atau pun bahasa yang dipakai kadang bernuansa diskriminatif.
Misalnya, saat dia menyampaikan pendapat ketika ada pertemuan. Mereka tak begitu menghiraukan, walaupun pendapatnya benar.
Juga, pilihan kata dalam berkomunikasi juga cenderung bernuansa merendahkan.
Ada kata-kata tertentu yang dipakai berdasar tingkatan strata status sosial dari seseorang.
Tak jarang, dia menghadapi ketika lawan bicaranya menggunakan pilihan kata untuk orang-orang yang berasal dari golongan bawah.
Situasi menjadi tantangan yang cukup serius dalam proses adaptasinya.
Makanya, dia coba mencari cara agar perlakuan itu tak membuatnya patah semangat untuk bekerja di negara itu.
Sikap diskriminasi juga kadang tak hanya terjadi pada lintas negara. Ini juga bisa terjadi dalam konteks di lingkup negara Indonesia.
Misalnya, diskriminasi karena faktor latar belakang asal atau pun budaya.
Hemat saya, tiga hal yang perlu dibangun dalam menghadapi sikap diskriminatif dalam konteks sosial tertentu.
Pertama, Lebih banyak mendengarkan dairpada berbicara.
Persoalan berbahasa kerap menjadi tantangan seorang asing dalam berkomunikasi. Memang benar dengan ungkapan bahwa perlu berani berbicara agar kemampuan berbahasa ikut terbentuk.
Akan tetapi, kita juga perlu menjaga diri dalam berbahasa. Dalam arti, kita perlu memilih waktu atau momen yang tepat untuk melatih kemampuan berbahasa dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi tentang hal-hal yang penting.
Ketika kita memiliki keterbatasan dalam menyampaikan ide, lebih baik kita mencoba menjadi pendengar yang baik.
Disposisi diri sebagai pendengar yang intens bisa menjadi faktor yang membuat lawan bicara mau mengakui keberadaan kita dan sekaligus menghargai kita sebagai lawan bicara.
Bukan tak mungkin, lawan bicara kita itu bisa meminta pendapat kita. Pada saat itulah, kita menyampaikan apa yang perlu kita sampaikan.
Kedua, mengakui kelebihan daripada membandingkan.
Berada sebagai orang asing di tanah orang, terlebih lagi di negara maju, kita perlu bersikap rendah hati.
Dalam arti, kita mengakui kelebihan yang kita hadapi dan alami tanpa merasa derajat diri kita direndahkan.
Barangkali dari sisi perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan mereka berada di posisi lebih depan daripada yang terjadi di negara kita.
Akan tetapi, kita masih memiliki kelebihan yang mereka tidak miliki. Misalnya, kelebihan dalam berelasi yang terjadi antara anggota keluarga, teman, dan tetangga.
Kita juga memiliki kekayaan budaya yang cukup kaya beserta kekayaan dan pemandangan alam yang mengagumkan.
Walau kita mempunyai kelebihan itu, kita sekiranya mengontrol diri dalam membuat perbandingan yang menjurus melebihkan budaya kita dan merendahkan sisi tertentu dari cara hidup mereka.
Agar menjauhi diri melebihkan, kita membiarkan mereka yang bertanya dan mencari tahu. Pada titik itu kita baru menjelaskan apa yang kita miliki.
Ketiga, Lebih baik belajar daripada mengajari.
Berada di tempat atau negara orang, kita melatih untuk lebih banyak belajar.
Kita belajar cara hidup mereka. Kita belajar dari keseharian mereka. Kita belajar bagaimana mereka memperlakukan kita.
Proses belajar membantu kita mengenal konteks hidup kita dengan baik. Semakin kita mengenal mereka, kita semakin tahu cara membangun relasi yang baik dengan mereka.
Karenanya, kita perlu menghindari sikap untuk mengajari. Sikap mengajari bisa menimbulkan ketersinggungan, dan bisa membuat mereka tak menghargai kita.
Walaupun kita mengetahui banyak hal, kita perlu merem diri untuk menunjukkan diri sebagai sosok yang mengajarai ketidaktahuan mereka.
Perlakuan diskriminasi memang sulit untuk dihindari ketika berada di tempat atau negara lain.
Kendati demikian, kita sekiranya perlu membangun benteng diri agar perlakuan itu tak membuat kita berkecil hati, tetapi membuat kita belajar dari realitas yang terjadi.
Bukan tak mungkin, pengalaman itu memperkaya dan menguatkan jati diri kita.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI