Â
Seorang ibu mengeluh tentang mantan pacar anaknya yang perempuan. Anak perempuannya masih kuliah. Begitu juga, pacarnya.
Mereka sudah putus. Namun, si pria tetap ngotot. Tak terima kenyataan berpisah.
Karena anaknya sudah tak membalas pesan-pesannya, si pria coba menghubungi ibu ini. Bahkan dia juga menjadikan adik dari anak perempuannya sebagai jembatan. Namun, ibu ini tak mau peduli.
Menurutnya, persoalannya hanya antara dia dengan anaknya. Juga, kalau sudah putus, apalagi di masa usia remaja, hal itu dipandang wajar.
Ternyata, latar belakang dari perpisahan anaknya dengan si pria itu adalah soal sikap posesif yang dimiliki oleh si pria. Misalnya, terlambat menerima telpon, atau pun membalas chat, si pria langsung meledak-ledak. Bahkan menuduh hal-hal yang tidak-tidak.
Karena tidak tahan, anak perempuannya memilih untuk berpisah. Daripada bertahan pada relasi yang menurutnya relasi toksik, dia lebih memilih untuk hidup sendirian. Ternyata, keputusan itu tak diterima oleh si pria.
Pasangan posesif mempunyai tanda-tanda yang bermacam-macam. Salah satunya adalah sikap memiliki yang terlalu berlebihan, hingga cemas ketika pasangan itu tak ada, pergi tanpa pemberitahuan, atau pun bersikap berbeda.
Memiliki pasangan posesif menjadi salah satu tantangan dalam relasi. Kadang kala sewaktu masa pacaran, gelagat berkarakter posesit tak muncul.
Namun, situasi berbeda ketika sudah menikah. Sikap posesifnya muncul. Kecenderungannya adalah mengontrol secara berlebihan.
Misalnya, tak boleh pegang phone atau pun tak mengijinkan pasangan untuk keluar rumah menghadiri kegiatan-kegiatan tertentu.
Lantas, bagaimana sikap menghadapi pasangan yang posesif. Sejauh ini, belum ada solusi yang tepat sasar. Umumnya, orang lebih memilih berpisah daripada tinggal dan bertahan pada situasi yang membuat situasi menjadi frustrasi.
Ya, kalau memang belum terikat oleh ikatan tertentu, misalnya perkawinan, berpisah bisa menjadi solusi. Terlebih lagi, jika relasi itu malah menimbulkan beban batin daripada menciptakan kedewasaan berpikir untuk menentukan arah relasi pada jalur yang tepat dan benar.
Memang, sulit untuk memilih berpisah, terlebih khusus dari sisi pasangan yang posesif. Kendati demikian, keputusan harus dibuat walaupun itu sangat sulit dan bisa memiliki dampak tertentu.
Lebih baik mengambil keputusan sedinih mungkin, daripada menyesal ketika sudah terikat oleh ikatan perkawinan dalam institusi agama tertentu. Pasalnya, keputusan berpisah akan terhalang oleh aturan-aturan yang mengikat. Proses perpisahan pun tak gampang.
Lantas, apabila sudah terikat dengan ikatan perkawinan dan berhadapan dengan pasangan yang posesif, seorang pasangan sebisa mungkin beradaptasi. Sikap diam dan mengalah mungkin perlu terbangun.
Bukan berarti kita melakukan pembiaran atas apa yang sementara terjadi. Atau juga, kita menjadi penurut.
Akan tetapi, kita tak boleh membalas api dengan api. Lebih baik mengikuti alur relasi yang terjadi, karena kelak hal itu bisa menjadi kebiasaan yang dihadapi dalam kehidupan setiap hari.
Ketika sudah mengenal dengan pasangan hidup, pada titik itu pula seorang pasangan bisa tahu bagaimana bersikap menghadapi karakternya. Persoalannya, ketika tak mengenal dengan baik pasangannya lewat relasi pacaran.
Memang sangat sulit untuk dipraktikan. Namun, hal itu tak mustahil terjadi.
Pada titik lain, relasi toxic dalam rupa keberadaan pasangan yang posesif bisa dicegah lewat kesadaran kedua belah pihak.
Dalam arti, setiap pihak perlu melihat ke dalam diri, serentak berusaha membangun penghargaan dan rasa hormat kepada pasangan. Walaupun sudah terikat, kita sekiranya perlu juga menghargai kebebasan individu, termasuk menghargai perasaan masing-masing pihak.
Bagaimana pun, setiap orang disatukan dengan kelemahan dan keistimewaan tertentu. Agar perbedaan ini tak menjadi beban dalam relasi, kedua belah pihak sekirannya membangun rasa hormat di antara satu sama lain. Dengan ini, sebisa mungkin mengubur sikap toksik yang cenderung melukai salah satu pasangan.
Pasangan posesif bisa menciptakan hubungan toksik. Siapa pun pasti merasa tidak nyaman, dan ingin menghadapi situasi baru dengan memilih berpisah.
Kendati demikian, hal itu juga bisa terbangun lewat pemahaman di antara satu sama lain. Maka dari itu, relasi pacaran mesti dibangun dengan relasi yang positif, daripada dengan bumbu-bumbu asmara yang tak begitu esensial.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI