Coba kita perhatikan persaingan 4 besar di klasemen sementara Liga Italia sampai pekan ke-24. Inter Milan sementara berada di posisi puncak, disusul oleh Napoli di tempat ke-2, AC Milan tempat ke-3, dan Juventus di tempat ke-4.
Menariknya, jarak poin di tiga besar tak terlalu jauh. Hasil laga pada pekan depan ini bisa mengubah peta di puncak klasemen.
AC Milan bisa beruntung pada pekan depan apabila menang kontra Sampdoria. Pasalnya, pemuncak klasemen Inter akan berhadapan dengan Napoli di puncak ke-2. Andaikata Napoli menang, tim yang dilatih oleh L. Spalletti ini akan berada di puncak klasemen sementara Liga Italia.
Wajah 4 besar Liga Italia, walaupun tak sepenuhnya, seolah membawa pulang ingatan pada kompetesi Liga Italia di tahun 90-an. Terlebih khusus saat Liga Italia belum tersandung skandal Calciopoli. Skandal pengaturan skor yang menghukum Juventus harus turun ke Serie B.
Jauh sebelum skandal ini terungkap ke publik, Liga Italia termasuk kompetesi yang digandrungi publik. Banyak talenta muda yang berkiprah di Liga Italia. Tak sedikit pemain di Liga Italia yang menjadi referensi untuk Eropa dan dunia.
Akan tetapi, situasi ini menjadi muram ketika Liga Italia tersandung skandal Calciopoli. Nama sepak bola Italia tercoreng.
Tim-tim Italia pun mulai tampil di bawah standar terbaik. Liga Italia pun kerap dikesampingkan dalam hal mendatangkan dan membangun para pemain muda. Kecenderung lainnya adalah Liga Italia menjadi tempat dari para pemain tua.
Situasi ini ikut merambat di daratan Eropa. Tim-tim asal Italia kurang bersinar di kompetesi Eropa.Â
Kecuali Inter Milan di bawah kepelatihan Jose Mourinho sempat meraih juara Liga Champions di musim 2009/10. Namun, situasi ini tak terulang lagi hingga saat ini. Juventus sempat masuk final di tahun 2015. Namun, kalah 1-3 dari Barcelona.
Selebihnya, performa tim-tim Italia di Liga Champions kurang meyakinkan. Juventus yang sempat diharapkan malah masih belum berbicara banyak hingga saat ini.
Padahal, sebelum skandal calciopoli, Italia termasuk liga yang kerap bersaing kuat dalam kancah kompetesi Liga Champions. Liga Inggris yang konon dinilai seru dan kompetetif kerap kali kalah bertarung dengan wakil-wakil Italia.
Situasi terbalik saat sekarang. Tim-tim Liga Inggris cenderung digdaya di Liga Champions. Liverpool, Man City, dan Chelsa adalah tim-tim yang diprediksi bisa kembali mencapai titik tertinggi di kompetsi Liga Champions pada musim ini.
Sementara itu, tim-tim Liga Italia umumnya masih berupaya untuk menujukkan kualitasnya di balik persaingan tim-tim lain di Eropa. Tantangan makin kuat untuk tim-tim Italia adalah perkembangan kepemilikan tim-tim sepak bola.
Selama lebih dari satu dekada terakhir, ada tren kepemilikan klub-klub sepak bola atas nama pengusaha-pengusaha kaya. Sebagian besar para pengusaha asal Timur Tengah. Perubahan kepemilikan ini dibarengi dengan investasi uang yang tak sedikit.
Dengan kekuatan finansial seperti ini, tim-tim itu terbangun. Mereka tak sulit mendapatkan pemain yang ditargetkan. Bahkan mereka juga tak sulit menampung para pemain yang mempunyai tuntutan gaji tinggi.
Contoh paling nyata adalah kasus Gianluigi Donnarumma, mantan kiper AC Milan. Donnarumma harus meninggalkan AC Milan karena tak ada kata sepakat dengan klub. Kabarnya, klub tak mengiakan tuntutan gaji Donnarumma.
PSG dengan tangan terbuka menerima Donnarumma. Tentu saja, penerimaan itu dibarengi dengan kesediaan klub untuk memenuhi tuntutan gajinya.
Tak heran, klub-klub Liga Italia harus berupaya kuat untuk membangun kualitas timnya dengan tuntutan dan persaingan saat ini. Tak sedikit, klub yang sudah dimiliki oleh para pengusaha kaya.
Sejauh ini, arahnya Liga Italia kembali bangkit mulai. Selain dari peta persaingan di klasemen sementara Liga Italia, di mana bukan dominasi satu klub semata, juga keberanian tim-tim Italia yang mulai mendatangkan para pemain muda.
Walaupun tak mengucurkan harga fantastis, namun para pemain muda ini bisa menjadi tulang punggung dalam membangun kualitas sepak bola Italia.
Misalnya, keputusan D. Vlahovic yang berasal dari Serbia mau bergabung ke Juventus di bulan Januari ini daripada mengiakan tawaran dari Arsenal. Sama halnya, ketika Tammy Abraham (Inggris) mau bergabung ke AS Roma daripada tetap bertahan di Chelsea atau pun dipinjamkan ke klub-klub Liga Inggris.
Keputusan kedua pemain ini sangat menguntungkan Liga Italia. Dari level usia, keduanya sementara membangun diri mereka. Mereka juga bisa meningkatkan kualitas Liga Italia, termasuk menghindari stereotip jika Liga Italia hanya untuk para pemain tua.
Apabila pemain muda ini bertahan untuk sekian waktu, bukan tak mungkin identitas Liga Italia sebagai liga terhebat kembali ke permukaan.
Persaingan di klasamen Liga Italia saat ini membahasakan jalan Liga Italia di Eropa. Cepat atau lambat, Liga Italia kembali disegani dan bisa disejejerkan dengan La Liga Spanyol atau pun Liga Inggris.
Tentu saja, persaingan itu bisa terjadi apabila klub-klub tak tunduk pada kekuatan uang. Kekuatan uang kerap menjadi tantangan bagi klub-klub mengamankan para pemain mereka dari kejaran klub-klub kaya.
Selain itu, persaingan menjadi kuat apabila aspek kompetetifnya begitu nampak. Dalam mana, dominasi satu klub untuk sekian tahun mesti dihindari.
Makanya, ketika Inter Milan berhasil menjadi juara dan serentak mengakhiri dominasi 9 musim di Liga Italia, hal ini terlihat membuka ruang untuk siapa saja. Ternyata, dominasi itu tak kekal, dan tim mana pun bisa berada di puncak klasemen.
Sejauh ini, Inter, Napoli, AC Milan, dan bahkan Juventus memiliki kesempatan menjadi juara Liga Italia pada musim ini. Peluang yang sama ini membahasakan persaingan ketat di empat besar, sekaligus memberikan pesan untuk Eropa. Liga Italia mulai bangkit!!!
Salam Bola
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H