Naturalisasi pemain sepak bola dan nama Ibukota Negara, Nusantara, menjadi topik pembicaraan akhir-akhir ini di Kompasiana. Pelbagai pandangan bermunculan tentang dua topik ini.
Kendati kedua topik ini didiskusikan dalam dua lanskap yang berbeda, hemat saya, keduanya memiliki benang merah yang bisa dihubungkan. Paling tidak, keduanya berhubungan erat dengan semangat nasionalisme.
Pada tempat pertama, naturalisasi pemain sepak bola yang dibuat pada era pelatih Shin Tae-Yong adalah sebuah upaya untuk merekrut pemain yang berketurunan Indonesia untuk menjadi bagian timnas.
Sebenarnya ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, Indonesia sudah pernah melakukan naturalisasi pemain.
Rencana secara umumnya adalah mencari para pemain yang benar-benar berkualitas dan bisa mengisi pos-pos yang sangat dibutuhkan untuk timnas. Â
Tak masalah dengan upaya ini. Toh, ini sudah menjadi langkah dari banyak negara di dunia.
Akan tetapi, tantangan mencuat ketika upaya ini bisa saja mengesampingkan talenta-talenta yang lahir, dibesarkan, dan hidup di Indonesia sendiri. Seyogianya, mereka yang mesti dikedepankan.
Terlebih lagi, jumlah penduduk Indonesia dan antusiasme warga Indonesia pada sepak bola. Jumlah penduduk yang begitu banyak pastinya memunculkan "kebingungan" karena kita masih belum bisa mendapat kesebelasan yang begitu solid untuk berprestasi di Asia Tenggara dan Asia pada umumnya.
Padahal, banyak negara yang jumlah penduduknya lebih sedikit daripada Indonesia tetapi mereka bisa berprestasi. Ini bisa menandakan bahwa sistem penyeleksian dan pembinaan pemain sepak bola masih menjadi catatan penting.
Tak ayal, naturalisasi dipandang sebagai salah satu solusi untuk menguatkan timnas. Targetnya agar Indonesia berprestasi. Â Namun, ini menjadi tantangan bagi keberadaan para talenta-talenta di dalam negeri.
Tanpa terlalu mengevaluasi nasionalisme para pemain naturalisasi, hemat saya, semangat itu terbangun untuk sekian waktu. Bukan terjadi sementara waktu.
Semangat itu kuat bertumbuh dan berkembang saat tinggal dan berada bersama di Indonesia. Semangat itu juga dipupuk bersamaan dengan proses dalam pembangunan diri, seperti mulai mengikuti kompetesi sepak bola untuk Indonesia mulai dari usia dini hingga menjadi layak masuk timnas.
Agak sulit dipahami ketika seseorang menyatakan nasionalismenya hanya karena faktor keturunan semata, tetapi tak pernah merasakan secara langsung kehidupan di Indonesia. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana nasionalisme itu berakar kuat di dalam diri seorang pemain ketika dia sudah tak terikat dengan cabang sepak bola.
Di tengah gerakan naturalisasi pemain, kita pun dihadapkan dengan nama ibukota negara baru yang terletak di Kalimantan Timur. Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Nusantara menjadi nama ibukota baru tersebut.
Terlepas dari sejarah panjang dari nama ibukota ini, yang jelas ini nama ini sudah berakar kuat di dalam benak rakyat Indonesia. Secara pribadi, ketika mengetahui nama Nusantara ini, saya sepakat dengan nama yang dipilih.
Alasannya, nama ini sudah berakar kuat pada identitas Indonesia sebagai negara berkepulauan yang terdiri dari pelbagai macam bahasa, suku, dan budaya. Walau pun kemudian, ada pula yang agak menolak ketika menelusuri lebih jauh dari sejarah kemunculan nama tersebut.
Kendati demikian, nama ini sudah menunjukkan identitas bangsa Indonesia. Nama ini merepresentasikan wajah Indonesia dan membahasakan nasionalisme.
Ketika nama IKN, yang nota bene sudah melekat kuat dengan identitas Indonesia, gerakan naturalisasi pun ditantang. Naturalisasi para pemain sepak bola yang lebih diinisiatif oleh Indonesia sendiri guna mendapatkan pemain berkualitas seolah bertolak belakang dari semangat Nusantara.
Terlihat naturalisasi menjadi pukulan bagi nama Nusantara. Nama IKN dimaksudkan untuk menekankan identitas Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya dan bercorak pelbagai suku, budaya, dan bahasa.
Indonesia begitu kaya baik dari sisi sumber daya alam, maupun manusianya. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan kekayaan itu demi kemajuan bangsa. Termasuk, bagaimana kita memanfaatkan manusia Indonesia agar bisa berprestasi di pelbagai cabang kehidupan. Â
Sama halnya, bagaimana kita memanfaatkan para pemain di dalam negeri demi kemajuan sepak bola. Alih-alih melihat dan memanfaatkan sumber daya manusia yang tersedia, kecenderungannya adalah keluar, mencari, dan mengundang figur-figur dari luar.
Boleh saja, mereka berketurunan Indonesia. Akan tetapi, kita juga perlu mencermati sejauh mana mereka berwawasan nusantara, dalam arti, merasa, menyadari, dan menghidupi budaya Indonesia.
Tak salah dengan naturalisasi pemain sepak bola. Hanya saja, ini menjadi salah satu tantangan dari konsep IKN dengan nama Nusantara. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H