Beberapa hari terakhir ini, di negara Filipina disibukan dengan pendaftaran calon peserta pemilu 2022, mulai dari DPRD, bupati/walikota, gubernur, DPR pusat, senator hingga presiden. Penutupan pendaftarannya berakhir hari ini (8/10).
Untuk level pilpres, beberapa figur publik sudah mendaftarkan diri. Beberapa nama di antaranya adalah wakil presiden saat ini, Lenny Robredo, putra dari Ferdinand Marcos yang dipanggil dengan Bombong Marcos, hingga mantan petinju terkenal Manny Pacquio.
Sebagaimana di Indonesia, pilpres juga menaikan tensi iklim politik di Filipina. Tiap orang memiliki jagoannya masing-masing. Tak heran, wajah media sosial berubah seturut dengan preferensi di pilpres 2022 mendatang.
Di balik euforia menjelang pemilihan umum, salah satu kabar menggembirakan menghampiri tanah Filipina. Maria Ressa dinobatkan sebagai peraih nobel perdamaian.
Maria Ressa menjadi orang Filipina pertama meraih nobel perdamaian. Tentu saja, ini merupakan kebanggaan sekaligus inspirasi bagi banyak rakyat Filipina. Â
Melansir berita dari beberapa media, Ressa dinobatkan sebagai peraih nobel perdamaian bersama dengan Dmitry Muratov dari Rusia. Mereka dinobatkan peraih nobel perdamaian tahun ini berkat usaha-usaha mereka dalam menjaga kebebasan berekspresi.
Untuk konteks Filipina, Ressa terbilang sebagai jurnalis yang vokal membicarakan tentang kebenaran dan nilai-nilai demokrasi di Filipina. Ressa yang merupakan pendiri dari website Rappler sempat bersetegang dengan pemerintah saat ini, di bawah komando Presiden Duterte.
Pemerintahan Presiden Duterte dikenal getol dalam melancarkan kampanye pemberantasan pada pengedaran narkoba. Kampanye ini menyebabkan banyak nyawa melayang.
Bertolak dari situasi ini, Ressa pun melakukan investagasi atas kampanye dari pemerintah ini. Ressa menilai bahwa ada "abuse of power" di balik kampanye yang dilancarkan ini. Â
Ressa memanfaatkan tugasnya sebagai jurnalis untuk mengungkapkan kebebasan berpendapat dalam mengevaluasi kampanye yang dilancarkan oleh administrasi di bawah pemerintahan Duterte. Namun, upayanya ini juga mendapat tantangan serius dari pemerintah.
Rappler, media yang dikomandoi oleh Ressa dituduh dalam penyalahgunaan pajak. Pemerintah menilai bahwa mereka mempunyai bukti untuk menjebloskan Ressa dan perusahan ke jalur hukum atas masalah pajak.
Tak hanya itu, di tahun 2018, Rappler juga dilarang untuk meliputi kegiatan-kegiatan kepresidenan. Alasannya, karena pihak kepresidenan sudah kehilangan kepercayaan kepada media yang dipimpin oleh Ressa ini (www.cnbc.com 8/10).
Kendati demikian, Ressa tetap bertahan di tengah pelbagai tekanan. Rappler tetap beroperasi, walau pelbagai tantangan tetap menghantui perjalanan media ini.
Ressa meraih hadiah nobel perdamaian karena advokasinya pada kebebasan berpendapat. Memanfaatkan media yang dimilikinya, dia ingin mencari kebenaran dari setiap kebijakan publik yang terjadi. Bahkan dia berani mengupas penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan nyawa yang tak berdosa menjadi korban.
Memang tak gampang untuk berbicara tentang kebenaran. Ressa bahkan pernah berhadapan hukum karena tuduhan pencemaran nama baik lewat media siber (kompas.com 15/6/20). Karena ini, Ressa yang berlaku sebagai CEO dan pemimpin redaksi Rappler mendapat tuntutan hukuman penjara.
Ini hanyalah salah satu tantangan dari pekerja media yang berani bersuara tentang kebenaran. Banyak pekerja media yang juga kehilangan nyawa mereka karena mereka berani untuk menginvestigasi persoalan hingga mencapai titik-titik kebenaran.
Raihan Ressa merupakan kebanggan bagi Filipina di tengah euforia menyambut pemilihan umum 2022 mendatang.
Penghargaan ini bahkan bisa mengingatkan rakyat Filipina untuk memilih sosok pemimpin yang pro kekebasan berpendapat daripada pemimpin yang takut pada kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H