Relasi suami dan istri tidak luput dari persoalan. Saya masih ingat pada pernyataan seorang teman yang mempunyai advokasi khusus dengan kehidupan berkeluarga.
Menurutnya, relasi yang mempunyai masalah menandakan adanya interaksi di antara kedua belah pihak. Tanpa adanya persoalan, boleh jadi interaksi di antara kedua belah pihak terjadi begitu minim. Atau juga, keduanya tidak berinteraksi sama sekali.
Kendati mempunyai masalah dalam relasi, hal yang paling penting adalah pengolahan masalah di antara kedua belah pihak. Tujuannya, agar salah satu pihak ataupun keduanya terhindar dari masalah luka batin. Â
Pada tulisan ini, saya ingin fokus pada sosok perempuan yang sekaligus berperan sebagai istri dan ibu. Hemat saya, dua hal mendasar yang perlu dihindari agar tidak melukai batin seorang perempuan. Bagaimanapun, kesehatan mental seorang perempuan merupakan hal yang tidak boleh dianggap sepele.
Pertama, Berbohong.
Siapa pun pasti tidak mau dibohongi. Apalagi di dalam sebuah relasi antara suami dan istri. Hal ini pasti berlaku untuk kedua belah pihak. Tidak hanya perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Â
Berbohong menghadirkan pelbagai macam efek. Ada pengkhianatan. Ada rahasia yang disembunyikan. Ada kecurigaan di antara kedua belah pihak. Hingga itu berujunga pada rasa sakit hati karena ada yang disembunyikan.
Padahal, sebagai pasangan yang sudah menikah, kedua belah pihak harus saling membuka diri. Apa yang menjadi masalah satu orang menjadi masalah bersama. Seyogianya, apa yang dimiliki di dalam batin seseorang menjadi milik bersama.
Berbohong itu berwujud dalam rupa macam-macam. Itu bukan saja dalam soal relasi dengan pihak ketiga. Namun, berbohong juga terjadi ketika pihak laki-laki menyembunyikan hal-hal tertentu dari istrinya.
Saya ingat cerita seorang ibu. Sampai di usia pernikahan mereka yang ke-18 tahun, dia tak tahu persis berapa jumlah gaji yang dimiliki oleh suaminya. Setiap kali ditanyai, suaminya selalu menyembut nominal tertentu. Namun, apa yang dikatakannya itu bukanlah kenyataan yang sebenarnya.
Barangkali karena sering ditanya, kemudian suaminya hanya mengatakan kepada istrinya kalau dia hanya perlu mengatur anggaran keuangan rumah tangga. Tidak perlu terlalu repot dengan urusan pendapatannya di kantor.
Berlaku tidak jujur seperti itu bisa menimbulkan sakit batin. Terlebih lagi, kebohongan itu dibangun sekian tahun.
Kebohongan bisa menimbulkan rasa tidak dihargai dan tidak dianggap sebagai seorang istri dan pendamping hidup. Kalau dibiarkan terlalu lama, hal itu bisa menimbulkan sakit batin yang mengarah pada sikap acu atau tidak peduli pada apa yang dilakukan dan terjadi pasangannya.
Kedua, Melakukan KekerasanÂ
Seorang teman perempuan bercerita tentang lima tahun pertama masa perkawinannya. Lima tahun yang penuh dengan kekerasan, baik itu dalam rupa verbal maupun fisik. Masa-masa kemesrahan sewaktu pacaran seolah luntur sewaktu sudah menikah dan tinggal berdua serumah.
Sampai suatu waktu, mungkin karena sudah kebiasaan, suaminya memukul kepalanya namun itu terjadi di depan ibunya. Tak disangka hal itu menimbulkan reaksi yang cukup keras dari ibunya. Sebagai orangtua sekaligus mama mantu, ada rasa kecewa yang luar biasa. Bahkan hal itu berujung pada ancaman perceraian.
Semenjak saat itu, suaminya tidak lagi bermain tangan. Kekerasan fisik tidak pernah terjadi. Perdebatan mulut masih sangat sulit dihindarkan. Â
Pengalaman lima tahun di awal pernikahannya itu sulit terlupakan. Masih ada rasa sesal karena telah menikah dengan laki-laki yang merupakan suaminya. Muncul juga rasa benci karena telah menikah. Bahkan dia mengatakan jika mereka berpisah, dia lebih memilih untuk hidup sendiri daripada menikah lagi.
Penyesalan itu merupakan buah dari luka yang tercipta karena kekerasan yang dialaminya. Apalagi jika efek dari kekerasan tidak diolah, hal itu akan membuat relasi menjadi hambar. Relasi terjadi terjadi karena faktor fungsi semata, terutama sebagai orangtua semata.
Oleh sebab itu, seorang laki-laki mesti menghindari diri dari melakukan kekerasan kepada pasangannya. Efek kekerasan selalu berdiam di dalam batin. Lukanya akan sulit tersembuhkan apalagi tidak ada pengolahan yang teratur dan tepat sasar.
Kaum perempuan mesti dihargai. Penghargaan kepada kaum perempuan juga nampak lewat menjaga kesehatan mental mereka. Paling tidak, kita tidak boleh menciptakan luka batin yang membuat seorang perempuan menyesali keputusannya menjadi seorang ibu atau pun seorang istri.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H