Teman saya, Mita (bukan nama sebenarnya). Single mother. Asal dari Filipina. Siang itu, saya dan beberapa teman mengantarnya ke perbatasan provinsi di mana kami tinggal.Â
Dia harus pulang kembali ke tempat kerja. Dia bekerja sebagai sekretaris sekolah di provinsi tetangga. Kepulangannya kali ini yang cukup menyakitkan.
Beberapa pekan lalu, dia memilih untuk berlibur. Hanya dua pekan.
Tidak gampang berlibur di tengah masa pandemi. Ijinan masuk ke provinsi di mana kami tinggal masih sangat sulit. Tuntutannya banyak. Belum lagi masa karantina yang diterapkan untuk mereka yang masuk dari luar.
Beruntung, dia berlibur ketika pemerintah provinsi setempat melonggarkan aturan. Jadinya, protokol untuknya tidak terlalu ketat. Dua pekan sudah cukup untuk bertemu dan berada dengan putera semata wayangnnya.
Pulang ke tempat kerja berarti dia harus kembali meninggalkan anaknya itu di rumah mertua. Lagi-lagi, gara-gara pandemi korona, perjumpaan akan menjadi jarang. Setelah setahun pandemi korona terjadi, baru bulan ini Mita bisa pulang.
Bukan hanya soal berpisah dengan anaknya yang memberatkan hidupnya. Ini juga soal suaminya. Suaminya yang seorang guru berelasi dengan wanita lain. Persoalannya, orangtua yang sekaligus orangtua mantu lebih memilih Mita sebagai istri daripada istri baru dari suaminya.
Dua hal yang cukup memberatkan Mita saat ini. Beban sosial dan beban tanggung jawab untuk mengurus anaknya.
Mita dan suaminya berasal dari kabupaten di pegunungan Filipina. Masyarakatnya masih menghargai nilai perkawinan. Perceraian dipandang negatif. Wanita kerap tidak dihargai. Pikiran negatif kerap meliputi orang yang bercerai.
Makanya, saat dia pulang, dia tidak langsung ke tempat asalnya. Lebih memilih tinggal di ibukota provinsi. Daripada pulang berhadapan dengan beban sosial, lebih baik tetap tinggal di ibukota provinsi.Â
Toh, dia memilih pulang untuk bertemu dengan putera semata wayangnya. Jadinya, anaknya yang datang bertemu dengannya di ibukota provinsi.
Selain itu, beban tanggung jawab untuk mengurus anaknya. Kendati tinggal bersama mertuanya, dia tetap bertanggung jawab penuh dalam hal finansial untuk anaknya itu. Suaminya sudah mempunyai anak dari perempuan lain. Peluang untuk mengurus anaknya itu pun begitu tipis.
Hanya karena respek dengan mertua dan juga situasi di kampung halaman yang membuatnya untuk rela menitipkan anaknya ke mertua. Juga, sulit baginya untuk membawa anaknya ke tempat kerjanya karena dia tinggal di asrama yang disiapkan oleh tempat kerja.
Cerita tentang Mita ini barangkali banyak cerita yang dihadapi oleh wanita yang berprofesi sebagai single mother. Karena situasi tertentu, mereka harus berhadapan dengan situasi rumit. Situasi sosial dan beban moral kerap menjadi bagian dari status mereka sebagai orangtua tunggal.
Gosip dan isu menjadi makanan sesama yang sulit terhindarkan. Dugaan dan tuduhan juga tidak jarang menjadi tantangan yang harus mereka hadapi.
Belum lagi, persoalan ekonomi. Tak masalah ketika saat bercerai, seseorang memiliki fondasi ekonomi yang kuat berupa pekerjaan tetap. Kalau tidak, persoalan ekonomi ini bisa memperberat beban sosial dan perasaan. Jadinya situasi semakin rumit.
Menjadi single mother tidaklah gampang. Barangkali kita gampang untuk menilai dan menduga, namun di balik situasi itu ada beban yang sementara dipikul.Â
Daripada hanya fokus pada situasi yang sementara terjadi, lebih baik membangun pemahaman agar situasi yang dialami oleh single mother tidak menjadi berat.
Salah satu caranya adalah penerimaan ke dalam konteks sosial. Tidak perlu menghakimi. Sanksi sosial sudah tidak pada tempatnya. Yang dibutuhkan adalah penerimaan agar yang menjadi single mother merasa lega dengan situasi yang dialaminya.
Penerimaan di konteks sosial bisa memberikan keringanan. Beban perasaan menjadi gampang dipikul. Jadinya, dia bisa leluasa untuk membangun diri dan mendidik anak-anaknya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H