Pola pikir seperti ini pun membentuk pandangan pada setiap laki-laki di konteks sosial yang berbeda. Tidak mudah untuk bergaul dengan mereka. Juga, merasa asing ketika ada sekelompok orang yang bercirikan seperti itu berada dalam satu grup.
Situasi berbeda bersama berjalannya waktu semenjak tinggal di Filipina. Lebih dari 6 tahun.Â
Lewat penyesuaian diri dan kerap kali berhadapan konteks yang sama, pola pikir pun ikut berubah. Mereka tidak boleh dianggap sebagai orang asing, tetapi mereka adalah bagian dari kehidupan sosial kita. Sulit dipahami, namun mereka adalah bagian dari konteks sosial yang seyogianya diterima sebagaimana adanya diri mereka.Â
Jadi, keterbukaan atas keberadaan mereka merupakan cara agar mereka tidak merasa risih untuk bergaul dengan mereka. Membuka diri itu nampak lewat mau berbicara dengan mereka sebagaimana adanya mereka.Â
Juga, berani untuk mendengarkan mereka. Banyak pengetahuan yang bisa hadir lewat cerita-cerita mereka. Terutama, kisah-kisah mereka saat berada di lingkup sosial.Â
Pernah di suatu waktu, saya berbicara dengan sekelompok kaum gay. Tiga orang. Mereka berbicara tentang penolakan di dalam keluarga mereka. Dua di antaranya awalnya ditolak keberadaan mereka di tengah keluarga.Â
Penolakan yang memberikan rasa sakit batin. Perlahan mereka diterima dan diakui. Akan tetapi itu pun butuh waktu. Karena ini, seorang pun menghaturkan syukur karena orangtuanya tidak melihat jati dirinya itu sebagai sesuatu yang dipersoalakan di dalam keluarga.Â
Kaum LGBT merupakan bagian dari konteks sosial. Keberadaan mereka merupakan realitas sosial yang tidak boleh dihindarkan dan ditolak. Malah ini menjadi kesempatan bagi kita untuk menghormati dan menghargai diri mereka sebagaimana adanya mereka.
Lantas, kalau ada kaum LGBT yang mengungkapkan perasaannya kepada Anda? Apa tanggapan Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H