Dendam politik bisa menjadi duri dalam daging yang bisa merusak kebersamaan di masyarakat. Alih-alih seorang pemimpin hadir untuk semua masyarakat, malah dia terkurung pada dendam politik yang sudah terbangun sejak masa sebelum pilkada. Ketika pintu rumah dibuka untuk lawan politik, banyak pihak yang melihat itu secara sinis.
Seyogianya dendam politik mesti dihapuskan. Setiap pihak menerima hasil kontestasi politik dengan tangan terbuka. Situasi pilkada merupakan bagian dari kontestasi yang mesti dipelajari dan ditelaah secara rasional, dan bukannya dilihat dari sisi perasaan semata.
Ketika memenangkan kontestasi, setiap pihak mesti berpikir bahwa yang memenangkan kontestasi adalah seorang pemimpin untuk semua, dan bukannya pemimpin untuk segelintir orang, seperti para pengikutnya selama masa sebelum pilkada. Pola pikir ini bisa menjadi jembatan untuk membangun keharmonisan di tengah masyarakat.
Maka dari itu, pemimpin yang memenangkan pilkada juga mesti mempunyai hati untuk merangkul yang kalah dalam kontestasi pilkada. Kalau memang mereka mempunyai potensi untuk membangun, apa salahnya mereka bisa direkrut dan dimintai keterangan dalam membangun wilayah. Toh, setiap calon pemimpin yang maju dalam kontestasi mempunyai satu tujuan yang sama, yakni demi kebaikan bersama.
Jadi, pemimpin yang memenangkan kontestasi berani untuk mengubur dendam politik. Sudah saatnya merangkul siapa saja untuk menjadi bagian dalam proses membangun sebuah wilayah. Lawan politik dijadikan sahabat politik dalam membangun daerah yang sama. Â
Bangun persahabatan juga bertujuan agar tensi panas selama pilkada menjadi kendor. Juga, ini menjadi cara untuk menghapus dendam politik pada setiap pendukung dari para calon politik.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H