Momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 9 Desember lalu tentu menyisahkan pelbagai kisah di kalangan akar rumput. Ada yang bersukacita karena calon yang diunggulkan menang, dan ada pula yang mesti membisu karena calon mereka kalah.Â
Situasi ini membahasakan dinamika politik. Gara-gara Pilkada, ada kubu yang terpecah-pecah berdasar jagoan mereka selama pilkada. Dari perspektif demokrasi, situasi ini bukanlah masalah. Malahan ini menunjukkan wajah demokrasi, di mana setiap pribadi tidak terkontrol oleh suara mayoritas. Tiap orang bergerak seturuk kehendaknya untuk memilih.
Beda pilihan bisa menjadi cerminan dari kualitas pemilih. Tidak terkungkung pada satu calon. Juga, tidak ikut arus dalam melihat dan menilai pilihan politik.
Pilkada sudah berlalu. Pemenangnya sudah diketahui. Â
Tentunya, gap masih ada di kalangan masyarakat. Apalagi jika dalam masa sebelum Pilkada, tensi yang terjadi begitu tinggi. Terlebih khusus bagi wilayah yang hanya melibatkan dua paket calon Pilkada.
Dua kubu terpecah karena perbedaan pilihan politik. Sejatinya, perbedaan itu berakhir bersama akhir dari masa Pilkada. Kemenangan dari salah satu paket mesti diakui dan diterima dengan tangan terbuka. Bahkan kalau boleh, kemenangan salah satu pihak diselamati secara terbuka.
Pada pihak lain, kubu yang memenangkan kontestasi berani untuk mendekati yang kalah. Pendekatan ini bertujuan agar bisa memulihkan tensi yang sudah tercipta selama masa Pilkada.
Paling tidak, ketika masyarakat melihat pendekatan ini, mereka juga sadar bahwa tujuan akhir dari sebuah kontestasi bukan untuk satu pihak semata. Akan tetapi, itu adalah jalan untuk mendapatkan kebaikan bersama.
Tensi selama masa sebelum Pilkada memang sulit dihindari. Apalagi jika tensi itu dibumbui dengan fitnah dan berita bohong. Ini bisa menyebabkan setiap kubu berada pada situasi panas.
Situasi panas ini bisa berujung pada pola pikir tertentu. Kandidat lain merupakan lawan yang tidak boleh diterima tempatnya ketika kemenangan tercapai. Pintu untuk meraka harus ditutup ketika calon yang diunggulkan menang.
Pola pikir seperti ini membahasakan tentang dendam politik. Dendam karena situasi yang terjadi semasa sewaktu masa kampanye.