Sebuah pernikahan selalu mensyaratkan persatuan antara suami dan istri. Mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Demikian gaung dari gereja yang dikutip dari Kitab Suci.
Akan tetapi, gaung ini acap kali hanya ideal. Sangat bertolak belakang dengan realitas. Persatuan itu terbilang masih jauh dari harapan.Â
Tak sedikit pasangan yang masih terkurung dalam individualisme. Lebih mementingkan diri sendiri dan tidak peduli pada keberadaan rekan hidup. Pasangan hanya sekadar pendamping hidup, yang dipenuhi ala kadarnya. Tak sepenuhnya memuaskan pasangan sebagaimana memperlakukan diri sendiri. Â
Barangkali banyak contoh yang bisa menggambarkan situasi ini. Salah satunya ketika pasangan yang bergaji berlaku sangat pelit dalam memberikan uang gaji kepada pasangannya. Parahnya, ketika pasangan begitu nekat menyembunyikan sejumlah uang gaji dari pasangannya dan memberikan seadanya untuk kebutuhan pasangan di rumah.Â
Situasi seperti ini bisa berujung pada relasi yang tidak harmonis. Pada titik ini, seorang pasangan yang tak terpenuhi kebutuhannya bisa mencari tempat lain untuk menggenapi kekurangan yang ada pada dirinya. Bisa ambil jalan salah yang bisa merugikan keharmonisan kedua belah pihak.Â
Saya masih ingat cerita tentang tetangga kami. Seorang ibu rumah tangga. Dia terjebak utang yang cukup besar. Parahnya, suaminya baru tahu jika istrinya berutang ketika pemilik utang datang menagih.Â
Pemilik utang nekat pergi ke kantor dari suami ibu itu. Situasi menjadi tegang. Si suami tidak terima dengan apa yang terjadi. Pasalnya, bukan dia yang berutang, tetapi isterinya.Â
Tidak hanya itu. Sang suami juga tidak terima karena pemilik utang harus mendatanginya di kantor. Dia menjadi malu di hadapan banyak orang.Â
Sebenarnya pemilik utang sudah tidak tahan dengan kelakuan istrinya. Sudah berutang, tetapi kerap berjanji dan bahkan kerap menghilang tanpa kabar. Jalan pintas pun diambil. Langsung mendatangi suaminya di kantor.Â
Kejadian ini tak lepas dari sikap suami sendiri. Banyak yang menilai hal itu terjadi karena suaminya begitu pelit dan penuh perhitungan dalam memberikan uang gaji. Bahkan cenderung tidak transparan. Suaminya berjabatan tinggi. Namun, dia terbilang pelit. Hal itu sudah menjadi pengetahuan umum di mata masyarakat dan teman-teman dari suaminya. Dia terbilang pelit dalam urusan finansial.
Tidak apa-apa pelit untuk berhemat dan menabung. Menjadi persoalan ketika sikap itu malah membuat pasangan yang lain merasa tersiksa. Selain itu, hal itu juga menyebabkan seorang pasangan harus mengambil jalan yang salah, seperti berutang tanpa sepengetahuan suami.
Hal yang sama juga bisa terjadi pada suami. Suami berutang tanpa sepengetahun istri. Istri menjadi tahu ketika sesuatu terjadi. Misalnya, penagih utang datang ke rumah dan menyita aset rumah. Atau pun, suami ditahan karena nilai utang yang besar dan tidak dibayar.
Fenomena seperti ini bisa terjadi ketika kedua pasangan tidak bergerak dan berpikir bersama soal anggaran rumah tangga. Tiap pribadi cenderung untuk mengatur anggaran sendiri. Susahnya ketika salah satu pihak tidak bekerja.Â
Situasi seperti ini bisa membuat yang lain menderita sementara yang satunya merasa nyaman. Toh, dia tidak terbebani karena dia tahu dengan baik situasi keuangan. Akan tetapi, yang kerap berharap uluran tangan dari pemilih gaji, akan berpikir seribu kali lipat untuk memenuhi anggaran yang kurang. Jalan satu-satunya yakni lewat berutang walaupun itu bisa menimbulkan persoalan baru.
Sejatinya, persatuan suami dan istri tidak hanya dalam batasan kata-kata. Persatuan itu juga nampak dalam pengaturan anggaran rumah tangga. Gaji seorang suami atau pun istri menjadi kepunyaan bersama. Suami berhak tahu gaji istri, begitu pun sebaliknya. Juga, anggaran itu diatur agar setiap pihak merasa puas dan bersama-sama merasa kesulitan ketika anggaran begitu kurang.
Gobin Dd Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H