Saya pernah mengalaminya. Menginap di kompleks gereja yang berusia hampir 400 tahun. Hanya akhir pekan saya tinggal di tempat itu. Salah satu pertanyaan yang dilontarkan beberap orang adalah apakah saya melihat, mendengar, dan merasakan sosok yang terlihat di tempat itu.
Bukannya saya menjawab, saya malah menjadi penasaran. Penasaran dengan harapan agar saya tidak akan mendapat pengalaman melihat, mendengar, dan merasakan hantu di gereja. Selama 8 bulan, tak sekalipun saya merasakan apa yang dipikirkan oleh orang di tempat itu.
Hemat saya, konteks yang terbangun di film horor bisa membentuk pola pikir tertentu. Itu bisa berupa pola pikir yang salah.
Kalau konteks sebuah film horor menempatkan pohon tua dan berukuran besar sebagai tempat kediaman hantu, itu pun bisa saja membentuk pola pikir tentang setiap pohon tua dan besar. Sehingga setiap kali melewati pohon tua dan besar kerap kali dihantui pola pikir seperti itu. Ujung-ujungnya, menjadi takut dan tidak mau berjalan sendiri.
Kalau film horor membangun ide bahwa setiap kuburan sebagai tempat tinggal hantu, orang pun berpikir demikian. Padahal, ada orang yang tinggal di kuburan. Tidak takut sama sekali.
Tidak salah menonton film horor. Namun, baiknya setiap konteks di film tidak ditelan bulat-bulat. Perlu juga selektif dan kritis.
Tujuannya agar tidak terjebak pada pola pikir yang salah. Toh, pada akhirnya kita sendiri yang bisa tersiksa. Kita menjadi tidak nyaman dengan setiap obyek dan tempat yang sudah terpengaruh oleh pola pikir kita. Pola pikir yang terbentuk gara-gara menonton film-film horor.
Salam Kasih
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H