Baginya, apa pun situasinya, selagi masih berada di kamar biru itu, dia tetap merasa nyaman. Baik dalam situasi sedih, dia juga tetap nyaman menjalani hidupnya. Pun saat situasi ria, dia menjalani hidupnya biasa-biasa saja. Batinnya seolah dikondisikan oleh warna kamarnya.
Karenanya, sangat sulit mengajaknya pindah dari kamar biru itu. Lebih baik membayar ongkos ojek pergi ke tempat jauh daripada harus pindah dari kamar yang telah memberikannya kenyamanan. Â
Kamar biru itu juga melekat dengan janjinya. Sebelum mengecet kamar itu dengan warna biru, dia mengatakan kepada ayahnya di kampung tentang target kuliahnya. 5 tahun.
Orangtuanya senang dengan niat anak pertama mereka itu. 5 tahun juga menjadi target mereka. Mendengar janjinya itu, orangtuanya pun rela mengirimkan uang tambahan. Untuk membeli cat berwarna biru.
Kalau lebih dari 5 tahun orangtuanya bisa lepas tangan. Tidak mau lagi menanggung biaya hidupnya di kota Kupang.
Dari  mereka bertiga dengan dua adiknya yang berkuliah, hanya dirinya yang kuliah di luar pulau. Kedua adiknya harus kuliah di kota kabupaten sendiri walau mereka juga mau kuliah di luar kota. Â
Adik-adiknya juga tidak tinggal di kos. Mereka tinggal dengan keluarga mereka.
Orangtuanya hanya bertani kopi. Musim panen sudah tidak jelas. Harga kopi pun tidak menentu. Tidak cukup untuk membiayai tiga orang anak pada waktu yang bersamaan.
Hampir enem tahun sudah dia berada di kota Karang. Lebih dari 5 tahun seturut targetnya. Warna biru di kamarnya mulai lusuh termakan waktu. Tidak ada anggaran untuk memolesnya dengan warna biru.
Pemuda itu memperhatikan jam di tangannya. Sudah mau pukul 05.30 pagi. Waktu bersiap untuk berangkat bekerja di salah satu toko bangunan.
Perlahan dia bangun dari kasur yang tergeletak di lantai. Gerakannya pelan. Tidak mau menganggu kenyamanan seorang bayi bersama ibunya yang sementara mengenakan piyama biru. Mereka terlihat masih lelap dalam mimpi. Mimpi di kamar biru.