Awal bulan Mei. Waktu yang dinantikan oleh siswa kelas 3 SMA. Waktunya untuk melakukan kegiatan rekoleksi.Â
Saya sendiri juga penasaran dengan kegiatan ini. Setiap kali kakak kelas pulang dari kegiatan ini, mereka membawa pelbagai kisah. Bukan saja inti dari kegiatan itu, tetapi juga pengalaman mereka bersama dengan teman-teman kelas. Menurut mereka, ada rasa yang berbeda dari kegiatan yang biasa berlangsung sepekan ini.Â
Kegiatan rekoleksi serupa dengan kegiatan rohani. Biasanya ada pemuka agama yang diundang. Entah sebagai pembicara selama waktu rekoleksi maupun sebagai fasilitator kegiatan rohani.Â
Tidak masalah. Yang paling penting bisa keluar kota. Bisa merasakan kegiatan yang kerap diceritakan oleh kakak kelas setiap tahun.
Pasalnya, kegiatan rekoleksi ini bukan sekadar kegiatan rohani. Ini juga kegiatan berkumpul bersama teman-teman. Bahkan pada kesempatan ini, orang bisa mengungkapkan perasaan suka mereka kepada teman kelas. Maklum waktu tamat sekolah akan segera berakhir.
Makanya, di kalangan para siswa sekolah kami, kesempatan rekoleksi adalah kesempatan terakhir untuk mengungkapkan perasaan kepada seseorang cewek yang ditaksir. Kalau diterima, itu merupakan nilai tambah dari pengalaman. Akan tetapi, apabila ditolak, resikonya bisa berwarna-warni.
Bisa saja, dia menjadi pembicaraan di kalangan teman kelas. Juga, kegiatan rekoleksi itu pun menjadi hambar baginya.Â
Namun, banyak yang mempercayai efek rekoleksi. Sangat jarang kisah penolakan. Yang terjadi kisah penerimaan dari teman cewek yang ditaksi. Kabarnya, ada kepercayaan di kalangan cewek. Kalau menolak, ungkapan cinta seseorang di tengah kegiatan, dia bisa mendapat tulah. Tulah tidak menikah.Â
Entah darimana kepercayaan ini  terlahir, tidak ada yang tahu. Yang pasti para siswa menghidupi kepercayaan itu. Jadinya, kegiatan rekoleksi yang seyogianya dimaknai sebagai kegiatan pendalaman rohani malah dipenuhi oleh kepercayaan-kepercayaan konyol para siswa.Â
Para guru tidak menutup mata. Berkali-kali para guru mengingatkan kesalahan dalam kepercayaan itu. Bahkan pemateri rekoleksi juga dibekali oleh para guru agar para siswa tidak terjebak pada kepercayaan yang sama. Akan tetapi, hal itu sia-sia.Â
Kali ini, guru pendamping memilih sebuah tempat rekoleksi yang berada di salah satu daerah pegunungan. Hawanya sejuk. Tempatnya tenang.