Setahun lebih sudah, saya menetap di kabupaten ini. Kabupaten yang terletak di provinsi bagian Utara Filipina.
Waktu setahun belum cukup untuk mengenal dengan baik situasi di kabupaten ini. Saya selalu meminta tetangga rumah untuk menemani saya apabila melakukan perjalanan di sekitar kabupaten ini.
Beberapa tempat sudah agak familiar. Pasalnya, saya kerap melewati tempat itu hampir setiap hari. Jadinya, sudah hafal dengan rumah masyarakat dan bahkan pemiliknya.
Di dekat rumah makan pancitan (jenis mie buatan di sini), saya selalu memperhatikan sebuah rumah tua. Rumah itu dikatakan tua karena faktor model dan strukturnya. Â Model dan struktur yang hanya terbangun di masa lampau. Sangat jarang menemukan rumah yang modelnya seperti itu saat sekarang.
Rumah itu berdiri bersebelahan sebuah rumah yang sudah dibangun dengan arsitektur modern. Ketika melihat itu, saya hanya berpikir bahwa pemilik rumah tua itu dan rumah yang berasitektur modern adalah keluarga sama.
Benar saja. Setelah delapan bulan, saya diundang ke rumah itu. Pada saat itu pun, saya bertanya tentang status rumah tua yang terletak bersebelahan dengan rumah mereka. "Rumah keluarga," menurut mereka.
Saya diundang untuk mengunjungi rumah tua itu. Sudah lama rumah itu tidak ditempati. Yang seharusnya menjadi ahli waris rumah itu memilih untuk tinggal di luar negeri.
Rumah terlihat lengang. Perabot rumah tangga tidak ada. Dindin rumah terlihat rapuh. Beberapa tiang rumah sudah termakan rayap. "Hanya menanti waktunya roboh," pikir saya sewaktu memperhatikan rumah itu. Â
Di ruang depan, ada meja yang ditempati oleh patung orang-orang kudus. Kebetulan pemilik rumah itu adalah orang Katolik. Sudah menjadi tradisi orang Katolik untuk menempatkan patung-patung yang dipandang kudus di rumah mereka.
Di lantai dua, ada tiga kamar dan beberapa tempat tidur antik. Kamar-kamar itu terbagi dalam kamar orangtua dan kamar anak-anak.
Saya katakan kepada pemilik rumah, tempat-tempat tidur yang berada di lantai dua itu berbicara banyak kenangan tentang keluarga itu. Mereka sekiranya tidak membiarkan tempat tidur itu rusak atau menjualnya kepada orang lain.
Lalu, salah seorang pemilik rumah, seorang ibu pun membuka cerita. Suami ibu ini adalah anak kedua dari keluarga pemilik rumah. Ibu ini sendiri berasal dari bagian Selatan Filipina.
Dia mengatakan bahwa di kalangan masyarakat sekitar, rumahnya dinilai sebagai rumah hantu. Angker. Ada yang takut kalau melewati rumah itu. Karena ini, keluarga itu menjadi agak terganggu. Bagaimana mungkin, rumah keluarga mereka dikatakan sebagai rumah hantu.
Saya katakan, barangkali pandangan itu terlahir karena rumah ini tidak ditempati dan dirawat. Pada saat rumah tidak ditempati dan diperhatikan, rumah itu terlihat kusam. Kesannya begitu terasing.
Barangkali karena ini orang gampang terjebak pada pandangan bahwa rumah tua itu adalah rumah hantu. Apalagi setiap ada film horor, rumah-rumah seperti itu kerap menjadi latar belakang film.
Rupanya dugaan saya tidak merespon baik pandangan masyarakat. Pandangan masyarakat semakin kuat ketika terjadi peristiwa kematian di rumah itu. Dua peristiwa kematian terjadi di rumah itu pada satu tahun terakhir.
Yang meninggal dunia adalah mereka yang tidak mempunyai sejarah sakit. Tiba-tiba meninggal dunia. Salah satunya, meninggal di rumah itu. Kakak ipar dari ibu yang mengisahkan tentang pandangan masyarakat tentang rumah itu sebagai rumah angker.
Setahun kemudian, di awal tahun ini, salah seorang keponakan mereka juga meninggal setelah berkunjung ke rumah itu. Padahal, keponakan mereka itu masih berusia di atas 30-an tahun.
Rentetan peristiwa ini seolah mengamini pandangan masyarakat. Rumah keluarga mereka adalah rumah hantu.
Makanya, tidak sedikit orang yang meminta agar rumah itu dirobohkan kalau tidak ada yang menempatinya. Akan tetapi, pemilik rumah itu tidak begitu saja mengiakan pandangan masyarakat setempat beserta usulan mereka untuk merobohkan rumah itu.
Bagi pemilik rumah, rumah itu adalah rumah keluarga mereka. Bukan rumah hantu sebagaimana yang dipikirkan masyarakat.
Di rumah itu, mereka dibesarkan. Di rumah itu mereka merasakan kasih sayang orangtua. Di rumah itu, mereka menyaksikan perjuangan orangtua mereka hingga mereka menjadi sukses. Pendeknya, rumah itu menjadi saksi sejarah di dalam kehidupan mereka.
Makanya, niat untuk merobohkan rumah itu pun tidak diiakan. Pemiliknya hanya mengatakan bahwa kalau rumahnya roboh karena faktor usia, hal itu bisa diterima. Akan tetapi, kalau rumah itu dirobohkan karena dinilai sebagai rumah hantu, maka hal itu tidak bisa diiakan begitu saja.
Bagaimana pun, rumah itu adalah rumah kenangan. Kenangan tentang sebuah keluarga. Bukan rumah hantu, tetapi rumah keluarga.
Sekembalinya dari rumah itu, saya pun mendapat pengalaman akan pentingnya menghargai rumah keluarga. Rumah bukan sekadar tempat. Akan tetapi, rumah juga adalah situasi dan suasana yang membentuk setiap pribadi.
Di rumah, banyak orang mendapat pengalaman. Rumah juga merajut pelbagai pengalaman hingga menjadi kenangan yang sulit dilupakan. Rumah boleh menua dan roboh karena waktu, tetapi kenangan akan sulit hilang dari hati kita. Karena ini, sangat sulit bagi seseorang untuk melupakan rumah keluarga. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H