Praktik perdukunan melekat di konteks masyarakat kita pada umumnya. Bukan hanya di Indonesia, tetapi ini juga dijalankan oleh masyarakat di pelbagai negara.
Bahkan di era perkembangan teknologi seperti sekarang ini, praktik perdukunan masih menjadi preferensi untuk menjawabi dan memecahkan sebuah persoalan.
Misalnya, salah seorang anak kecil di lingkungan di mana saya tinggal di Filipina. Anak itu digigit oleh seekor anjing. Sebelum dibawah ke dokter medis, dia diantar ke dukun yang ahli menyembukan pasien yang digigit anjing. Setelah itu, anak itu pun dibawah ke dokter guna mendapat suntikan anti rabies.
Tidak salah dengan praktik perdukunan. Itu merupakan bagian dari kenyataan sosial. Kenyataan sosial itu mesti diterima dan diakui secara publik. Â Apalagi hal itu memberikan keuntungan-keuntungan tertentu bagi masyarakat.
Hemat saya, kenyataan sosial ini terlahir karena kepercayaan pada hal-hal yang berada di luar pikiran manusia. Di balik ini, ada sosok-sosok di tengah masyarakat yang dinilai mempunyai karunia mendapatkan kekuatan tertentu. Kekuatan ini seolah menjawabi kepercayaan masyarakat pada hal-hal yang sulit dipahami.
Untuk menjawabi persoalan yang sulit dipahami, seseorang kadang datang kepada dukun. Misalnya, kalau menderita sakit tertentu.
Pada waktu pergi ke dokter, tidak ada keterangan yang menunjukkan adanya penyakit. Padahal orang itu mengalami sakit tertentu. Karenanya, orang kerap bingung dan mau mencari cara yang tepat untuk memecahkan persoalan.
Menjawabi situasi itu, masyarakat cenderung mencari pengobatan alternatif. Mencari dukun. Lewat dukun, tidak jarang terjadi ada jawaban dari persoalan yang terjadi.
Menjadi tantangan ketika jawaban itu mengarah pada persoalan santet. Seseorang menderita sakit karena disantet oleh orang tertentu.
Dalam konteks santet ini, ada dukun yang memberikan keterangan tertentu tentang sosok yang melakukan santet. Keterangan tidak jelas tetapi dengan tanda-tanda yang mengarah pada sosok tertentu. Persoalannya, ketika arahnya pada orang yang salah.
Ada pula yang memberikan ciri-ciri yang lengkap dan jelas yang menunjukkan identitas dari dukun santet. Kalau seperti ini, seseorang tidak akan terjebak pada persoalan.
Persoalannya, kalau keterangan yang diberikan dukun itu tidak benar. Hanya spekulasi seorang dukun. Ini akan menimbulkan kecurigaan dan tuduhan. Jadinya, yang tertuduh bisa menjadi korban, di mana reputasinya bisa hancur. Bahkan yang tertuduh bisa dijauhkan dari masyarakat.
Saya masih ingat ketika masuk sebuah rumah dari seorang yang dituduh sebagai dukun santet. Ini terjadi di kampung halaman ibu saya.
Tanpa berpikir dua kali, saya menceritakan tentang pengalaman berkunjung ke rumah itu. Para sepupu saya agak terkejut. Beberapa di antaranya menanyakan apakah saya meminum kopi ataukah tidak ketika berkunjung ke rumah itu.
Kebetulan saya tidak minum kopi di rumah itu. Ketika mereka tahu, mereka pun lega. Memberikan segelas kopi atau pun air merupakan tanda dari aksi seorang dukun santet.
Bagi mereka, ketika seorang yang dituduh sebagai dukun santet memberikan segelas air, teh, atau pun kopi, mereka tidak akan menyentuhnya dan meminumnya. Atau juga, beberapa orang menganjurkan agar gelas minuman itu ditutup dengan telapak tangan. Kalau gelasnya tiba-tiba pecah, itu menandakan ada maksud buruk dari pemberian itu.
Selain pengalaman ini, tetangga rumah kami juga dituduh sebagai dukun santet. Padahal lingkungan di mana kami tinggal termasuk dalam kategori keluarga-keluarga berpendidikan. Walau demikian, tidak sedikit orang yang terjebak pada pikiran yang salah.
Entah dari mana, masyarakat mengatakan bahwa tetangga kami itu termasuk kategori dukun santet. Bahkan dia dinilai beberapa kali berupaya mencelakan orang lain. Seorang tetangga lain pun memberikan tanda-tanda kalau tetangga itu termasuk dukun santet. Â
Menurutnya, dia tahu kalau tetangga itu dukun santet dilihat dari kebiasaan di siang hari. Di siang hari, tetangga itu kerap mengenakan kain sarung tanpa baju atau pun bra. Menurutnya, itu merupakan tanda sekaligus ritual bagi mereka karena merasa kepanasan dengan ilmu yang mereka miliki.
Namun, saya berpikir bahwa tetangga yang sudah berusia 60-an tahun itu sudah terbiasa berlaku seperti itu. Sejak saya SD, dia sudah berlaku seperti itu. Entah dari mana dia mendapatkan informasi itu, dia yakin bahwa itu merupakan tanda yang menunjukkan dirinya sebagai dukun santet.
Masalahnya, cerita ini menjadi konsumsi publik. Banyak yang percaya. Beberapa di antaranya ikut mengamini dengan mengatakan kalau seorang dukun santet melakukan aksinya tanpa berpakaian dan mereka keluar rumah dinih hari. Ini juga merupakan tanda lain yang bisa menunjukkan seseorang sebagai dukun santet.
Entah dari mana informasi ini mereka peroleh. Akan tetapi, informasi-informasi ini  berhasil mengkotakan orang pada ruang yang salah. Gara-gara kelakuan yang tidak biasanya, seseorang masuk dalam kategori dukun santet.
Persoalan dukun santet sangatlah kompleks. Itu tidak hanya membutukan pengalaman untuk menilai seseorang termasuk kategori dukun santet ataukah tidak. Akan tetapi, itu juga membutuhkan pikiran rasional agar tidak cepat percaya dan terjebak pada pandangan yang salah.
Maka dari itu, kita tidak boleh cepat percaya pada tanda-tanda yang hanya berupa spekulasi. Selain itu, kitalah yang perlu membentengi diri dengan iman agama yang kita miliki. Kekuatan yang terbesar untuk melawan santet adalah iman kita kepada Sang Khalik.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H