Pada hari-hari terakhir, kita terlibat dalam polemik tentang kata "Anjay." Saya sendiri tidak memahami kata ini dengan baik. Kalau tidak salah, kata anjay ini dikaitkan dengan anjing. Â
Andaikata ada orang yang mengatakan anjay kepada saya, saya merasa biasa-biasa saja. Barangkali juga hal yang sama terjadi jika saya mengatakan kepada teman-teman Indonesia di sini yang tidak memahaminya.
Namun, ketika orang mengatakan kepada saya, "Anjing", Â mungkin saya akan bereaksi. Pasalnya, saya memahaminya dengan baik.
Salah satu pelajaran dari polemik anjay adalah perlunya melihat makna setiap kata dengan cermat. Jangan hanya terjebak pada salah satu konteks, tetapi melupakan konteks lainnya. Kalau hanya memaksakan satu konteks, itu bisa membawa kita pada sikap tertutup. Ujung-ujungnya, pada pemahaman dan penafsiran yang terbatas dan salah.
Saya pun teringat di saat-saat awal belajar bahasa Tagalog, salah satu bahasa Filipina. Seorang teman dari negara Brasil mengatakan bahwa belajar bahasa merupakan proses selama hidup kita. Kita tidak bisa menguasai bahasa itu secara total. Makanya, kita perlu belajar dan terus belajar agar kita bisa memahami dengan baik.
Berhadapan dengan fenomena "anjay", mungkin kita pun perlu menyadari tentang kekayaan sebuah bahasa. Bahasa sulit dipahami secara total. Makanya, kita selalu berproses untuk belajar tentang bahasa yang kita ucapkan setiap hari. Proses belajar itu bukan saja mencakupi artinya, tetapi konteks di mana kata itu dipakai.
Terlebih lagi untuk konteks Indonesia yang beraneka suku dan budaya. Setiap suku dan budaya mempunyai kekhasannya masing-masing. Di balik kekhasan itu, kita perlu berlaku respek dan terbuka untuk belajar tanpa masuk pada penghakiman yang salah.