Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pernah Kalah dan Maju Kembali di Pilkada, Realitas yang Perlu Dievaluasi

18 Agustus 2020   19:47 Diperbarui: 19 Agustus 2020   10:55 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilih mencelupkan tangan ke tinta sebagai penanda telah menggunakan hak pilih dalam Pemilu. (Foto: KOMPAS/PRIYOMBODO)

Kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) mempunyai nuansa berbeda-beda. Nuansa itu bergantung pada konteks di mana Pilkada itu berlangsung.

Di Manggarai, Flores, misalnya, konteks Pilkada kerap dihiasi dengan pendekatan secara budaya. Ketika para kandidat mau masuk ke sebuah kampung, mereka harus mendekati masyarakat kampung itu dengan jalan adat.

Biasanya, para kandidat akan memasuki rumah gendang, rumah adat khas di Manggarai. Di rumah gendang ini, para kandidat akan berbicara kepada tua-tua adat. Pembicaraan itu bisa bersentuhan dengan politik atau pun hubungan kekerabatan yang mendorong para kandidat masuk ke kampung tersebut.

Selain itu, salah satu hal yang acap kali terjadi di kontestasi Pilkada adalah kembali wajah-wajah lama. Wajah-wajah lama ini adalah mereka yang pernah berkontestasi di Pilkada sebelumnya. Lima tahun lalu. Namun, mereka dikalahkan oleh petahana. Kekalahan itu merupakan bentuk kegagalan yang perlu dievaluasi.

Kegagalan adalah bagian dari proses kehidupan, termasuk kegagalan dalam kontestasi pilkada. Barangkali semua kita tidak luput dari kegagalan. Namun, tidak semua kita mampu mengatasi dan mengolah kegagalan itu dari sudut pandang yang positif.

Di dunia politik pun demikian. Tidak semua pihak mampu menerima dan mengolah situasi gagal dalam sebuah kontestasi lewat cara yang positif. Misalnya, kegagalan berujung pada pikiran dan aksi negatif.

Ini berarti bahwa mengolah sebuah kegagalan secara positif bukanlah perkara mudah. Dengan kata lain, tidak gampang "move on" dari sebuah krisis karena kegagalan. Terlebih lagi, jika kegagalan itu terjadi karena persoalan yang cukup sepele.

Seyogianya, kegagalan di lima tahun lalu dalam sebuah kontestasi politik bisa menjadi bahan pelajaran. Pelajaran palin utama dan pertama adalah siap hati dan pikiran menerima kegagalan.

Tidak gampang untuk menghadapi sebuah kegagalan dalam kontestasi politik. Terlebih lagi, jika kalkulasi politik menempatkannya pada tangga pertama, namun pada kenyataannya dia malah kalah. Atau pun, kegagalan hanya karena jumlah suara yang begitu tipis.

Pada salah satu sisi, kegagalan seperti ini kerap mendorong para politikus untuk maju lagi. Mereka akan kembali menunjukkan diri untuk berkontestasi. Bahkan jika gagal lagi dengan situasi yang sama, yang bersangkutan bisa kembali berkontestasi di lima tahun mendatang.

Sangat sulit mengerti situasi seperti ini. Pasalnya, kontestasi politik tidak memakan biaya yang sedikit. Pengorbanannya banyak.

Saya kira banyak kandidat politis di Pilkada Desember mendatang terdiri dari para kandidat yang pernah gagal di pilkada lima tahun lalu. Mereka bisa datang dengan rekan yang berbeda ataukah sama. Pendekatan politik pun berbeda pula.

Kegagalan di dalam dunia politik bisa disebabkan oleh pelbagai hal. Salah satu hal yang biasa ditunjukkan adalah faktor kepercayaan masyarakat. Kandidat tertentu belum masuk pada ranah kriteria masyarakat.

Faktor kepercayaan ini sangatlah penting. Tidak gampang untuk meraih kepercayaan masyarakat. Biasanya, bukti nyata menjadi salah satu faktor penting agar memperoleh kepercayaan masyarakat.  

Gagal karena faktor kepercayaan bisa menjadi bahan pelajaran berharga. Paling tidak, sebelum berkontestasi seseorang perlu mencerna sejauh mana kepercayaan masyarakat telah terbangun pada diri seorang calon. Andaikata gagal pada Desember mendatang, yang bersangkutan membutuhkan lima tahun untuk membangun kepercayaan masyarakat.  

Persoalannya, saat petahana menunjukkan kinerja yang sangat menjanjikan. Dengan ini, maju untuk berkontestasi bukanlah perkara gampang. Butuh kerja keras untuk meyakinkan masyarakat agar bisa menyaingi petahana.

Namun, saat petahana tidak berkinerja dengan baik, itu bisa menjadi momen tepat. Paling tidak, kinerja buruk itu bisa menjadi bahan untuk meyakinkan masyarakat.

Kegagalan dalam sebuah kontestasi politik itu merupakan hal yang biasa. Akan tetapi, hemat saya, kegagalan yang terjadi terus menerus merupakan hal yang perlu dicermati. Ada yang salah pada figur yang gagal tersebut. Dengan kata lain, masyarakat tidak mempercayainya untuk menjadi pemimpin mereka.

Pilkada mendatang bisa saja dihiasi oleh sosok-sosok yang pernah gagal di Pilkada sebelumnya. Ada yang sekali gagal, tetapi ada juga yang sudah dua kali gagal. 

Kegagalan itu menjadi bahan evaluasi untuk kembali maju di pilkada berikutnya, ataukah berpikir untuk undur diri dari dunia politik.

Ya, kontestasi pilkada bukanlah hal yang murah. Semua butuh biaya yang tidak sedikit. Pengorbanan yang besar, tetapi berbuah kegagalan bisa berujung kekecewaan yang sangat luar biasa. 

Akan tetapi, melihat kegagalan itu secara positif, hal itu bisa berujung pada pandangan dan keputusan yang bijak tentang sebuah kontestasi politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun