Kekalahan Barcelona dari Bayern Munchen (2-8) menjadi topik pembicaraan yang belum lenyap dari ingatan penggemar sepak bola hingga saat ini. Beberapa orang teman saya masih memajang meme-meme lucu yang berkaitan dengan kekalahan Barca di ajang Liga Champions musim ini.
Bahkan kandasnya Manchester City dari Lyon (1-3) pada dini hari tadi kurang menggema seperti yang dialami oleh Barcelona. Kekalahan besar yang berbanding terbalik dengan komposisi skuad di dalam tim.
Pada satu sisi, ini mengingatkan bahwa para pemain hanya tinggal nama yang akan dikenang. Fisik dan talenta mereka sudah terggerus oleh waktu. Pada sisi lain, hal ini juga mengingatkan kita bahwa kekalahan telak bisa saja terjadi kepada siapa saja, tanpa peduli tim.
Banyak media yang menilai jika kekalahan Barca merupakan hal yang sangat memalukan. Kekalahan yang sangat diingat dalam sejarah sepak bola.
Tentunya, kekalahan seperti ini merupakan lampuh merah untuk klub. Barcelona dalam kondisi yang tidak baik. Barcelona membutuhkan revolusi.
Mungkin perkataan Gerard Pique selepas pertandingan sangatlah tepat. Menurutnya, jika kekalahan yang terjadi bukan saja menyangkut pelatih dan para pemain. Akan tetapi, itu bersentuhan dengan manajemen klub sendiri.
Tidak heran, selepas kekalahan ini banyak pihak yang menyeruhkan pemilihan presiden untuk segera mungkin dijalankan. Manajemen klub di bawah kendali Josep Maria Bartemou diminta untuk segera melangsungkan pemilihan presiden klub tanpa menantin hingga musim depan berakhir. Atau juga, Bartemou sendiri yang mengajukan pengunduran diri dari kursi presiden.
Tidak salah juga untuk menyalahkan manajemen klub di balik keterpurukan Barcelona. Bukan musim ini saja, Barca harus kandas dengan sangat menyakitkan di kompetesi Liga Champions. Hal itu sudah terjadi di dua musim sebelumnya.
Dua musim berturut Barca kalah sangat menyakitkan. Kekalahan di Lisbon seolah puncak dari keterpurukan di dua musim sebelumnya. Â
Bukannya memperbaiki performa tim, Barca malah terpuruk dengan sangat menyakitkan. Kalah yang sulit dilupakan dan pada musim ini Barca nihil trofi. Maka dari itu, pembaharuan secara luar biasa di Barcelona sangatlah perlu.
Pembaharuan itu mulai terlihat dengan keputusan memecat pelatih, Quique Setien. Tidak hanya itu, Eric Abidal yang menjabat sebagai direktor olahraga Barca juga dikabarkan untuk diminta hengkang dari posisinya sebagai direktur olahraga Barca.
Tentunya, keputusan ini belumlah tuntas. Yang paling penting adalah upaya tim untuk melakukan pembaharuan di tubuh tim sendiri.
Tidak sedikit pemain Barca yang sudah berada di usia 30-an tahun ke atas. Beberapa di antaranya masih diberi tempat dan pengaruh di skuad. Karena ini, kerap kali para pemain muda yang seharusnya ditempah agar bisa menjadi penerus klub malah kurang mendapat ruang untuk bermain.
Mengandalkan pemain yang sudah berusia senja menghasilkan petaka. Vidal, Luiz Suares, Gerard Pique, Jordi Alba, dan Lionel Messi kalah cepat dengan para pemain muda kepunyaan Bayern Munchen. Mungkin pelatih terlalu melihat nama besar, tetapi sebenarnya mereka sudah agak keropos secara fisik untuk bersaing dengan tim-tim yang mengedepankan para talenta muda.
Selain merampingkan skuad dari para pemain yang terarah pada usia senja, Barca juga harus benar-benar merekrut pelatih yang tidak sekadar mengendalikan permainan tim dari luar lapangan hijau. Akan tetapi, Barca juga membutuhkan pelatih yang bisa mengontrol ruang ganti.
Memang tidak gampang berhadapan dengan klub yang mempunyai multi talenta seperti Barca. Dengan ini, Barca membutuhkan sosok yang mempunyai karakter yang cukup kuat dan tegar berhadapan dengan pemain bertalenta di Barcelona.
Sampai saat ini, Barca belum memberikan suara final tentang siapa yang akan menjadi pelatih tim senior. Pelbagai nama mencuat ke permukaan.
Bahkan Thiery Henry, yang merupakan mantan pemain Barca dan pernah melatih AS Monaco juga hadir ke permukaan. Dengan ini, manajemen klub seolah berada di persimpangan jalan untuk menemukan sosok yang tepat.
Pep Guardiola bisa menjadi salah satu alternatif. Terlebih lagi, menguat isu jika Pep bisa saja menjadi korban pemecatan selepas kekalahan menyakitkan dari Lyon di ajang Liga Champions. Pilihan ini bisa menjadi masuk akal mengingat rekam jejak Pep di Barca.
Seyogianya Barca sudah mempersiapkan sosok seorang pelatih sebelum tragedi di Lisbon. Pasalnya, penampilan Barca di bawah Setien tidak menjanjikan. Tidak berubah selepas pemecatan Valverde. Malah trofi La Liga raib dan pergi ke rival, Real Madrid.
Terlebih lagi, Setien tidak terlalu berpengaruh bagi tim. Contohnya saja, dalam salah satu laga di kompetesi La Liga kontra Atletico Madrid (1/7/20). Saat itu Barca ditahan imbang 2-2. Karena ini, Barca kehilangan poin dan posisi pertama pergi ke Real Madrid.
Hal yang tampil di media dalam laga ini adalah para pemain Atletico begitu kompak mendengar instruksi pelatih mereka, Diogo Simeone. Sementara itu, para pemain Barca terpencar tanpa peduli pada pelatih. Seharusnya, mereka juga harus bersatu untuk mengikuti instruksi pelatih sebagaimana yang dilakukan oleh Atletico Madrid.
Maka dari itu, Barcelona seharusnya membutuhkan sosok pelatih yang mempunyai pengaruh. Pengaruh ini membuat para pemain harus tunduk dan segan kepadanya. Pelatih yang bisa menyatukan semua pemain.
Kekalahan kontra Bayern Munchen boleh saja seperti gunung es di lautan lepas. Hanya titik puncak dari persoalan di klub sendiri. Ibarat mengalami pandemi, Barca seolah masih mencari vaksin yang tepat untuk menyelesaikan pelbagai persoalan yang terjadi di dalam tim itu sendiri. Tujuannya, agar Barca bisa tampil sebagaimana slogannya, "Lebih Dari Sebuah Klub!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H