Dinamika relasi partai politik di tanah air acap kali sulit diterka. Hari ini, bisa saja dua partai politik berelasi begitu mesrah.
Keesokan harinya, keduanya bisa saling senggol dan berseberangan dalam sebuah kontestasi. Relasi itu sendiri selalu bergantung pada kepentingan di antara kubu.
Andaikata kepentingannya sama, relasi bisa terjaga. Akan tetapi, jika kepentingannya berbeda dan sudah tercapai, relasi itu bisa pecah.
Semenjak Gerindra masuk lingkaran pemerintahan Jokowi pada periode II, partai yang didirikan oleh Prabowo Subianto mulai dekat dengan PDIP. Pastinya, kedekatan ini sarat dengan kepentingan politik.
Sebenarnya, kedekatan seperti ini bukanlah hal yang baru. Pernah Gerindra dan PDIP memiliki relasi yang cukup mesrah. Mereka pernah menjadi satu kekuatan yang menggolkan Jokowi dan Ahok di pilkada DKI Jakarta.
Akan tetapi, kedekatan ini retak saat kedua kubu mempunyai kepentingan berbeda. Pada Pilpres, Gerindra mempunyai jagoan tersendiri, begitu pun PDIP. Karena tidak mau mengalah pada satu kepentingan, setiap partai mengambil jalan masing-masing.
Di Pilpres PDIP berhasil mengalahkan Gerindra. Gerindra tidak mau diam. Gerindra berhasil menggeser kandidat PDIP di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.
Secara mengejutkan Gerindra merekrut Anies Baswedan dan bersanding dengan Sandiaga Uno melawan duet Ahok dan Djarot. Lewat dua putaran pemilihan, Gerindra berhasil mengatasi dominasi PDIP di ibukota Jakarta.
Perbedaan ini terus meruncing pada Pilpres 2019. Prabowo kembali melawan Jokowi. Namun, pesona Jokowi dari PDIP masih sulit diruntuhkan oleh partai Gerindra dan rekan koalisinya.
Perbedaan pendapat kedua partai ini meredah semenjak Jokowi secara mengejutkan mengambil Prabowo sebagai bagian dari kabinet. Tidak tanggung-tanggung, Prabowo duduk di departemen Pertahanan.
Dengan ini pula, suara keras oposisi melemah. Yang biasanya bersuara keras kepada pemerintahan mulai kontrol diri. Paling tidak, mereka tidak terlalu ngotot seperti Jokowi berada di periode I.