Bon adalah salah satu istilah yang identik dengan berutang. Kita mengambil barang dari sebuah tempat usaha tertentu seperti kios atau toko, dan kita membayarnya di kemudian hari. Pastinya, ada kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak.
Praktik ini sendiri tidak begitu ramah untuk pelaku usaha bisnis, terutama usaha bisnis kecil. Bagaimanapun, pelaku bisnis ingin agar usaha mereka berjalan seturut prosedur yang lancar. Makanya, tulisan "Di sini tidak melayani bon!" kerap terpampang di tempat usaha tersebut. Tujuannya, menjauhi kencenderungan masyarakat agar tidak mengebon.
Saya masih memerhatikan tulisan ini di beberapa kios di Manggarai, Flores. Biasanya ditempatkan di tempat yang strategis agar memungkinkan orang untuk melihat dan membacanya.
Atau juga, tujuannya untuk menyadarkan masyarakat tentang bagaimana berbisnis. Prinsipnya, transaksi bisnis bergerak jika ada uang. Kalau tidak ada, transaksi ditangguhkan. Â
Praktik bon bukan hal yang baru di tengah masyarakat. Ini sudah menjadi hal yang familiar dan bahkan sangat praktis untuk dijalankan, terlebih khusus untuk kehidupan rumah tangga. Â
Pas kita membutuhkan barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti gula dan garam tetapi kita tidak mempunyai persediaan uang yang pas, kita bisa datang untuk mengebon ke kios terdekat. Jika sudah ada uang, kita bisa membayarnya.Â
Keluarga kami juga sangat akrab dengan praktik bon. Ada sebuah keluarga dari Pulau Jawa yang bermigrasi ke Manggarai di tahun 90-an. Mereka membangun usaha kecil seperti kios dan bisnis penjualan baju.
Rumah mereka berdekatan dengan rumah kami. Kalau ada barang baru seperti baju model baru, keluarga ini selalu memberitahu kepada orangtua kami. Karena ini, keluarga itu menjadi dekat dengan orangtua kami.
Kedekatan tersebut membuat keluarga kami pun dipercayai untuk mengebon barang di kios mereka atau juga mengebon baju-baju baru.
Saya masih ingat sewaktu saya dan saudara-saudara saya merasakan sistem bon. Kami biasanya diutus oleh orang tua pergi ke kios dari keluarga ini.