Namun, berdoa di tempat ibadah menjadi salah satu poin dalam larangan pemerintah. Pasalnya, beberapa orang yang dinyatakan positif Covid-19 pernah pergi dan hadir di beberapa tempat ibadah tertentu.
Lebih jauh, tempat ibadah merupakan salah satu tempat yang memungkinkan kerumunan dan keramaian banyak orang. Sejauh pengamata sayan, sangat sulit untuk mengontrol orang untuk hadir dan datang ke tempat ibadah. Tentang hidup beragama acap kali sangat sulit untuk dijelaskan.
Apalagi jika masyarakat mempunyai keterikatan kuat dengan agama. Di provinsi saya tinggal agama mayoritas adalah Kristen Katolik.
Gereja menjadi tempat yang biasa dikunjungi masyarakat. Bahkan gereja menjadi tempat publik yang sering dikunjungi masyarakat setiap hari.
Pada siang hari, gereja terbuka untuk publik. Tidak sedikit orang yang datang untuk berdoa. Makanya, saat pemerintah memperbolehkan untuk melakukan ibadah di gereja, banyak orang yang datang dan menghadiri ibadah di gereja.
Walaupun gereja menerapkan protokol kesehatan, tidak sedikit orang yang masih melanggar aturan. Kadang jumlah orang yang hadir dalam ibadah melebih kapasitas yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Akibatnya, aturan jaga jarak tidak dipatuhi.
Pada situasi sepert ini, sangat sulit untuk mengontrol kehidupan agama masyarakat. Terlebih lagi, lebih dari dua bulan, masyarakat dibatasi untuk datang dan hadir di gereja. Bagaimana pun, gereja sudah menjadi bagian hidup mereka.
Larangan untuk mengadakan ibadah bersama di gereja menjadi salah satu tantangan bagi kehidupan agama. Kali ini masyarakat kembali diminta untuk melakukan ibadah dari rumah lewat radio, TV maupun internet.
Walau demikian, jika masyarakat sungguh-sungguh beriman, situasi ini tidak menjadi cara untuk menggerus kehidupan keagamaan mereka. Malah ini dilihat sebagai cara pemerintah untuk melindungi setiap orang untuk tidak terjangkit penyakit Covid-19.