Rumah mereka persis berhadapan dengan rumah guru SMP. Setelah diisi, mereka langsung menyerahkan formulir itu kepada guru mereka.
Melihat aksi dari mereka, saya sempat berkomentar. Berkomentar karena semangat mereka untuk masuk sekolah. Terlalu lama berlibur sejak bulan Maret. Terlebih lagi, mereka akan memasuki lingkungan baru. Sebagai siswa SMP.
Namun, ibu mereka tidak terlalu antusias. Tidak terlalu senang dengan sistem belajar online yang akan dijalani oleh anak-anaknya.
Mau tidak mau, dia harus menyediakan data untuk melanggengkan proses belajar mereka. Menurutnya, itu hanya menambah beban biaya keuangan.
Namun, tidak jauh dari tempat kami bercerita, salah satu anaknya sementara bermain phone. Sibuk bermain media sosial hingga dia begitu peduli pada orang-orang di sekitar.
Saya mengetahui dia bermain medsos, karena ibunya yang mengatakannya. Pasalnya, ada berita kasus baru Covid-19 dari gubernur setempat. Anaknya yang sementara bermain medsos yang pertama kali menginformasikan berita itu.Â
Dua situasi yang berbeda. Ibunya protes dengan sistem belajar online karena faktor dana tambahan untuk data. Sementara itu, anaknya yang juga sudah duduk di bangku SMP sibuk bermain media sosial dan menghabiskan data internet.
"Bagaimana jika data yang dipakai untuk media sosial dipakai untuk belajar daring?" tanya saya dalam hati.
Mengorbankan salah satunya demi mendapatkan manfaat yang lebih berharga. Terlebih lagi, belajar daring tidak akan berlangsung permanen. Ada waktunya anak-anak kembali ke sekolah.Â
Protes kerap kali terjadi karena kita tidak mau mengorbankan kesenangan demi mendapatkan hal yang lebih bermanfaat. Terlebih lagi hal yang bermanfaat itu terasa berat dan menantang. Ini terjadi karena terlalu terikat pada kesenangan hingga mengabaikan mana hal yang lebih bermanfaat untuk diri kita.
Kecuali kalau situasi ekonomi sama sekali tidak memungkinkan untuk belajar online. Phone tidak ada, apalagi data internet. Atau juga, signal internet begitu sulit hingga belajar daring tidak memungkinkan terjadi. Mungkin protes seperti ala ibu itu bisa dipahami.
Tetapi kalau protes hanya karena situasi baru yang bisa dihadapi, protes itu tidak akan menemukan solusi. Malah itu menciptakan beban batin tersendiri di dalam kehidupan bersama.