Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

George Floyd Positif Covid-19, Kematiannya yang Gugah Kesadaran dan Pelajarannya

4 Juni 2020   15:59 Diperbarui: 4 Juni 2020   15:55 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
George Floyd. Sumber foto: New York Times.com

George Floyd menjadi bukan sekadar nama bila menimbang rentetan aksi protes yang terjadi di Amerika Serikat dan di beberapa negara. Dia adalah spirit yang menjadi motor membuka kesadaran kita. 

Peristiwa yang menimpa George Floyd sepertinya menggugah kesadaran masyarakat tentang keadilan di tengah masyarakat heterogen. Keadilan pada perbedaan ras di tengah masyarakat.

Barangkali sebagian besar dari kita sudah tahu peristiwa yang menimpa George Floyd, pria berkulit hitam asal Amerika Serikat. Sekiranya, kisahnya itu menginspirasi kita untuk tidak melakukan hal yang sama. Dengan kata lain, kita tidak boleh menciptakan situasi dan aksi yang menyebabkan adanya George Floyd lainnya di tengah kita, terlebih khusus di Indonesia. Cukup hanya satu George Floyd!

Tidak perlu kita pergi ke tempat jauh untuk mengejawantakan soal keadilan ras. Kita bisa mulai dari keluarga kita sendiri. Kita mulai dari lingkungan di mana kita tinggal. Kita mulai dari negara kita. Indonesia. 

Perbedaan yang terjadi di tengah kita sekiranya tidak dipandang sebagai hal yang aneh. Hal yang diperguncingkan atau ancaman akan keberadaan kita. Tetapi perbedaan itu bisa menjadi kekayaan kita untuk belajar tentang orang lain.

Di balik peristiwa kematian George Floyd, juga tersiar berita jika George Floyd ternyata menderita penyakit Covid-19. Namun, bukan penyakit ini yang menyebabkan kematian dari Floyd. Tetapi karena aksi keras seorang polisi pada waktu dia ditangkap.

Ya, kematiannya terjadi saat seorang polisi menempatkan lututnya pada leher dari Floyd. Lebih dari delapan menit. Siapa pun kalau diperlakukan seperti itu akan mengalami nasib yang sama. Karena ini, Floyd tidak bisa bernapas -- I can't breath -- hingga itu membawanya pada kematian.

Seperti yang terlansir dari Daily mail.com (4/6/2020) dan FOX 5 (4/6/2020), dari hasil otopsi terakhir ternyata George Floyd juga menderita penyakit Covid-19, tetapi tanpa kerusakan pada jantung. 

Diketahui Floyd menderita Covid-19 pada 3 April, tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Sewaktu kematiannya, Floyd diperkirakan sebagai seorang pasien asimpotomatic Covid-19 atau carrier Covid-19 (CNN.com 4/6/2020). Hal ini juga merupakan hasil tes otopsi.

Namun, pihak otoritas tetap berpegang teguh bahwa kamatian Floyd tidak terjadi karena Covid-19. Tetapi karena perlakuan keras oleh polisi.

Perlakuan keras inilah menjadi api yang membakar massa untuk protes. Protes menuntut keadilan. Protes untuk mempersoalkan ketidakadilan pada ras tertentu.

Di negara yang kerap dipandangmaju dan modern, aksi rasis masih menjadi sebuah persoalan. Padahal, kalau dipikirkan, semakin modern sebuah negara, semakin maju pola pikir orang-orang yang tinggal di negara tersebut. Ternyata, itu hanya sekadar slogan yang berbicara sepihak.

Sejauh ini, ke-4 polisi yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan Floyd dinyatakan bersalah. Namun, di balik ini, protes yang terjadi bisa memberikan banyak pesan. Salah satu pesannya soal keadilan. Keadilan dalam memperlakukan orang-orang yang berbeda dengan kita. Tidak perlu kita mengukur seseorang dari ras tertentu.

Soal aksi rasis di AS, hemat saya, serupa api dalam sekam. Tidak terlihat, tetapi ini bisa membakar massa untuk protes dan berontak. Kalau tidak mau api itu menyulut dan membesar, akar persoalan mesti dipadamkan.

Dalam arti, persoalan rasis dihentikan. Setiap orang mesti diperlakukan sama tanpa perbedaan warna kulit, asal, suku dan budaya. Kesamaan perlakuan di balik perbedaan latar belakang bisa menjadi salah satu solusi untuk menjaga kedamaian di tengah masyarakat.

Harapannya, peristiwa kematian George Floyd membuka mata kita melihat cara kita memperlakukan sesama. Kita seyogianya berlaku adil terhadap sesama, sembari menjauhi diri untuk merendahkan martabat mereka.

Terlebih negara kita yang kaya akan suku dan bangsa. Kita diperkaya akan ras. Prinsip yang barangkali selalu dipegang adalah tidak ada ras yang istimewa di sebuah lingkungan dan di dunia. Semua ras itu sama.

Karena pada saat kita menempatkan sebuah ras pada tempat tertinggi, pada saat itu pula kita mulai membangun sekat pemisahan. Ujung-ujugnya, kita bisa menciptakan perendahan pada ras-ras lainnya.

Jadi, kita menjaga Indonesia dengan saling menghargai perbedaan di antara kita. Kita seharusnya bangga dengan apa yang kita miliki.

Gobin Dd

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun