Biasanya nasihat berdampak pada penerimanya, jika pemberi nasihat mempunyai integritas diri. Tanpa integritas diri, nasihat itu bisa saja bertepuk sebelah tangan. Ibarat sebuah ungkapan, nasihat itu masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Sebabnya, cara hidup pemberi nasihat berseberangan dengan isi nasihatnya itu.
Toh, penerima nasihat umumnya sulit melepaskan pandangan mereka antara cara hidup pemberi nasihat dan isi nasihat. Bahkan, faktor kepribadian pemberi nasihat menjadi fokus pertama yang diperhatikan sebelum menuruti isi nasihatnya.
Sebaliknya, nasihat akan berdampak kuat jika pemberi nasihat mempunyai integritas diri. Integritas itu menyangkut cara hidup pemberi nasihat. Ada kesesuaian antara cara hidup dan isi pesan yang terkandung di dalam nasihat.
Bahkan nasihat itu sendiri merupakan cara hidup dari penasihat. Dengan kata lain, penasihat sudah membuktikan nasihatnya itu lewat cara hidup hariannya. Dengan ini pula, orang gampang menyerap dan menuruti nasihat itu karena mereka sudah menyaksikan keampuhan nasihat lewat cara hidup pemberi nasihat. Â
Pernah saya mengikuti kuliah tentang Retorika. Kuliah ini berbicara tentang seni berpidato. Dalam satu sesi perkuliahan, dosen mengatakan kalau pesan sebuah pidato, kotbah dan renungan akan berdampak bukan semata-mata karena faktor isinya.
Tetapi, faktor kepribadian pemberi pesan, baik itu kotbah, pidato, dan renungan juga mempunyai peran tersendiri pada penerima. Semakin pesan berbicara tentang cara hidup pemberi, penerima pun kian membuka diri pada pesan yang disampaikan.
Misalnya, kalau pengkotbah berbicara tentang sesuatu yang positif tetapi berseberangan dengan cara hidupnya, pesannya pasti sulit diterima oleh pendengar. Tetapi kalau dia berbicara tentang nasihat yang sudah dihidupinya, pendengar akan merasa antusias untuk mendengar.
Sama halnya juga dalam kehidupan sosial. Seorang politikus yang bebas korupsi akan lebih dihargai daripada yang pernah terlibat korupsi. Orang cenderung menganggap sinis pada nasihat yang diberikan hanya karena kepribadian si politikus. Tetapi kalau si politikus mempunyai integritas diri, banyak orang yang menjadikan nasihatnya sebagai referensi dalam kehidupan berpolitik.
Dengan kata lain, nasihat itu merupakan kesaksian hidup yang diformulasikan dalam rupa kata-kata. Kata-kata itu menjadi berpengaruh dalam pikiran dan hati pendengar, bukan semata-mata karena isinya, tetapi karena faktor kepribadian dari orang yang memberikan nasihat.
Inilah salah satu tantangan dalam memberikan nasihat. Menasihati itu bukan saja soal isi dari nasihat itu. Tetapi itu bergantung pada kepribadian pemberi nasihat.
Makanya, sangat disesalkan saat orang masih nekat memberi nasihat, tetapi cara hidupnya tidak menunjukkan atau berseberangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam nasihatnya itu.
Memberi nasihat juga menjadi bagian tak terpisahkan dari cara hidup orangtua. Malah, orangtua mutlak memberikan nasihat kepada anak karena mereka adalah guru yang membangun pendidikan di rumah.
Walau bestatus orangtua, pemberian nasihat bukanlah perkara gampang. Status dan kekuasaan sebagai orangtua bisa saja tidak serta merta membuat nasihat itu gampang diserap oleh anak-anak. Hal ini kembali lagi pada cara hidup orangtua sendiri.
Salah seorang sepupu saya bercerita tentang situasi di keluarganya. Suaminya kadang terlibat permainan kartu (berjudi) saat ada acara. Istrinya tidak pernah protes.
Dia hanya mengatakan kepada suaminya jika suat saat anak mereka yang laki-laki juga bermain kartu, dia tidak boleh memarahinya. Karena apa yang dibuat oleh anaknya itu merupakan apa yang dilihatnya pada kebiasaan bapanya.
Begitu pula, soal memberikan nasihat bagi anak perihal penggunaan gawai. Nasihat agar anak mengontrol penggunaan gawai akan berdampak kalau orangtua sudah mempraktikkan nasihatnya itu.
Tetapi menjadi sulit, saat orangtua sendiri yang adiktif dengan gawai. Orangtua sibuk dengan gawai, sementara itu dia meminta anak untuk mengontrol penggunaan gawai. Jadinya, ada benturan antara cara hidup pemberi nasihat dan isi dari nasihat itu. Â
Jadi, upaya meminimalisir penggunaan gawai pada anak bermula dari orangtua. Orangtua mesti berani mengontrol penggunaan dan meninggalkan gawai untuk sementara waktu.
Misalnya, tidak boleh bermain gawai untuk jam-jam tertentu seperti jam makan bersama. Hal ini juga berlaku untuk semua anggota keluarga. Tanpa terkecuali.
Persoalannya, saat aturan ini berlaku untuk anak, sementara orangtua bebas menggunakan gawai kapan dan di mana saja.
Ya, tidak sedikit orangtua juga yang adiktif dengan gawai. Bahkan, perilaku ini menjadi contoh yang ditiru oleh anak. Banyak waktu yang dipakai bersama dengan gawai, bukan untuk urusan-urusan penting, tetapi sekadar memberi penghiburan pada diri.
Berbeda kalau dalil utama bersama gawai demi urusan bisnis dan kepentingan tertentu. Dalam mana, gawai menjadi instrumen untuk melanggengkan urusan bisnis dan kepentingan tersebut.
Tetapi, kalau orangtua juga terlena dengan gawai hanya untuk bermain game dan bermedsos, anak juga pasti sulit menerima nasihat orangtua. Bahkan yang cenderung terjadi adalah protes pada keputusan tersebut, sembari mencari cara agar bisa bermain gawai secara sembunyi-sembunyi.
Mengontrol dan mengatur waktu untuk anak bermain gawai seyogianya dimulai dari perilaku orangtua. Cara hidup orangtua adalah contoh terbaik bagi anak-anak. Cara hidup orangtua adalah nasihat itu sendiri. Jadi, upaya mengontrol anak dalam penggunaan gawai bermula dari cara hidup orangtua sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H