Bagaimana pun, Perdana Menteri Sophie Wilmes adalah seorang pemimpin yang perlu dihargai. Penghargaan itu mesti dibarengi dengan bahasa tubuh yang sekiranya membahasakan sikap hormat.
Namun, bukan sikap hormat yang diperoleh oleh Perdana Menteri, tetapi ketidakpeduliaan. Bahasa tubuh para tim medis itu membahasakan pandangan dan sikap mereka tentang situasi yang sementara terjadi.
Seperti yang dilansir dari the Guardian.com (18/4/2020) dan dari The Brussel Times (17/5/2020), motif dari pernyataan sikap itu adalah menyeruhkan peningkatan pengakuan pada usaha mereka. Mereka juga mengingingkan agar pemerintah merekrut tim medis yang berkualitas sebagai bagian dari tim dalam melawan korona.
Tim medis Belgia merasa kecewa dengan langkah pemerintah dalam menangani krisis pandemi. Mereka juga mempersoalkan pemotongan anggaran medis, gaji yang kecil dan keterbatasan tim medis di lapangan.Â
Selain itu, tim medis ini juga mempersoalkan langkah pemerintah Belgia yang merekrut staf medis yang tidak berkualitas dalam membantu penanganan virus korona.
Tentunya, pernyataan sikap ini merupakan reaksi yang disebabkan oleh apa yang mereka alami di lapangan kerja. Di tengah pandemi korona, tim medis umumnya menjadi garda terdepan dalam menangani virus korona. Mereka mengorbankan banyak hal, bahkan mereka bisa saja mengorbankan nyawa mereka.
Semestinya, pengorbanan mereka dibarengi dengan sikap dan tanggapan positif dari komponen sosial lainnya. Dalam arti, setiap komponen sosial tahu porsi kerja mereka masing-masing.
Pandemi korona bukanlah persoalan satu orang, segelintir orang dan satu institusi. Ini adalah persoalan bersama.
Setiap komponen sosial, mulai dari keluarga, sekolah, agama hingga pemerintah, mesti bekerja bersama. Bekerja seturut kemampuan, keahlian dan kontribusi yang bisa diberikan.Â
Bukan sebaliknya, persoalan ini dijadikan sebagai persoalan satu kubu dan kubu lain seolah tidak peduli dan tidak mau tahu. Jika hal ini yang terjadi, persoalan yang dihadapi tidak akan pernah selesai.
Muaranya, orang yang sudah bekerja serius akan menghadapi titik batas. Titik batas itu berupa kekecewaan, kemarahan, dan keputusasahan. Jadinya, persoalan tidak lagi dihadapi, tetapi tidak dipedulikan.