Kebijakan karantina wilayah mempunyai pelbagai konsekuensi. Salah satu konsekuensi yang nampak jelas adalah ruang gerak masyarakat yang dibatasi.
Padahal, tidak sedikit masyarakat yang mesti keluar rumah, pergi ke tempat lain untuk mencari nafkah. Saat ruang gerak ini dibatasi, pendapatan dan kebutuhan hidup semakin menipis. Kehidupan ekonomi dari tingkat pusat hingga lingkup keluarga mengalami ketidakstabilan.
Keterbatasan kebutuhan harian menjadi salah satu tantangan yang terjadi di balik keputusan penguncian wilayah. Sumbangan dari pelbagai sektor, baik itu pemerintahan maupun swasta, belum tentu mencukupi kebutuhan harian selama masa penguncian wilayah.
Bahkan uang bisa tidak bernilai apa-apa kalau tidak ada kebutuhan yang tersedia untuk dibeli. Salah seorang tetangga menceritakan pengalamannya ke pasar selama masa karantina.
Situasi di pasar ikut aturan yang digarikan dalam kebijakan penguncian wilayah. Selain pembeli yang dibatasi, para penjual juga ikut dibatasi. Tujuannya, untuk mengurangi situasi ramai. Namun, dampaknya barang yang dijual juga ikut terbatas. Pasalnya, seorang pedagang belum tentu mempunyai semua barang yang dibutuhkan konsumen.
Tetangga saya ini saja mendapat urutan terakhir masuk ke pasar. Barang yang dibutuhkan tidak ada. Walau ada uang, tetapi kalau barang yang dibutuhkan tidak dijual, jadinya nilai uang menjadi sia-sia.
Selain itu, fenomena menarik yang terjadi di tengah masyarakat adalah pertukaran barang. Barang di sini adalah bahan makanan. Pertukaran bahan makan. Atau dikenal dengan sistem barter.
Ini terjadi di salah satu desa yang saya kunjungi. Desa ini ikut berdampak karena kebijakan penguncian wilayah. Sebagian penduduk di desa itu adalah para pekerja bangunan. Ketiadaan pekerjaan memaksa mereka untuk tinggal di rumah.
Walau demikian, salah seorang penduduk berkisah tentang sistem barter. Pertukaran antara bahan makanan. Dia menukar berasnya dengan ikan dari salah satu penduduk.
Desa ini terletak dekat dengan sungai. Faktor kedekatan dengan sungai ini, beberapa orang menghabiskan waktu di sungai. Mencari dan menangkap ikan.
Aktivitas ini bukanlah sumber mata pencarian mereka. Kadang-kadang saja mereka ke sungai. Itu pun terjadi kalau mereka mempunyai waktu luang. Â Namun situasi berubah semenjak masa penguncian wilayah. Sungai menjadi alternatif untuk mencari dan mempertahankan hidup.
Ya, situasi semasa penguncian wilayah memaksa mereka untuk menekuni aktivitas mencari dan menangkap ikan. Wilayah sungainya luas. Aturan jaga jarak dipraktikan. Terlebih lagi, kasus covid-19 tidak terjadi di tempat itu.
Hasil ikan tangkapan itu dijual dan bahkan ditukar. Uang menjadi salah persoalan pada masa karantina. Pasalnya, pekerjaan dan pendapatan tidak ada. Makanya, kalau ada yang mempunyai beras, gula, garam, suka, mereka tukarkan ikan dengan barang-barang tersebut. Jadinya, saling melengkapi.
Pemilik ikan juga lebih berpikir pada barang daripada dibeli dengan uang. Betapa tidak, jika hasil ikan dihargai dengan uang, mereka juga kesulitan untuk membelanjakan uang mereka. Barang di desa juga terbatas. Kalau ke kota, mereka membutuhkan kartu ijinan khusus dari desa. Biayanya juga tidak murah. Bahkan tarif perjalanan bisa setara atau melebihi harga dari ikan yang terjual.
Sistem barter mungkin saja masih hidup di beberapa tempat. Konon, sistem barter menjadi praktik dan sistem bisnis yang pernah hidup dan dipraktikkan di masa lalu. Di pasar, transaksi yang terjadi bukan antara uang dengan barang. Tetapi barang dengan barang. Pastinya, mereka mempunyai kriteria tertentu dalam mengukur setiap barang yang ditukar.
Sistem barter yang kembali hidup selama masa penguncian wilayah ini juga merupakan bekas praktik masa lalu. Pernah hidup dan kemudian hilang dari sistem kehidupan masyarakat. Terlebih khusus, saat barang dan kerja dihargai dengan uang. Kemudian, sistem barter ini kembali hidup karena tuntutan situasi. Â
Pada situasi seperti ini, penulis melihat kalau tujuan sistem barter hadir sebagai upaya untuk bertahan hidup di tengah kertebatasan karena kebijakan karantina wilayah.
Ini juga menunjukkan tentang siklus sistem hidup yang dianuti oleh masyarakat. Meski tendensi hidup kita bergerak ke masa depan, kita masih tidak lupa untuk berbalik ke masa lalu.
Dalam mana, kehidupan masyarakat saat ini tidak terlepas dari masa lalu. Sistem hidup di masa lalu bisa kembali dihidupi saat ini karena tuntutan situasi dan karena itu cocok dengan konteks hidup masyarakat.
Selain itu, sistem barter juga memaksa masyarakat untuk bekerja dan berusaha. Hasil usaha itu bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dibutuhkan.
Gobin Dd
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H