Namun, bagi orang-orang tertentu, situasi ini bukanlah apa-apa. Hidup single dan tinggal sendiri sepanjang hari di rumah bukanlah persoalan. Malahan, dia merasa nyaman dengan situasi itu.
Ada salah satu anggota keluarga kami. Sebelumnya dia bekerja di Kupang, NTT. Setelah beberapa tahun bekerja di ibu kota, dia pulang ke daerah kami.Â
Semua anggota keluarga merasa senang. Pasalnya, sudah berpuluhan tahun dia bekerja di luar kabupaten. Lantas, perpindahan itu dinilai menjadi kesempatan untuk berkumpul bersama. Terlebih lagi, dia memilih untuk hidup single.
Namun, kesan itu berubah saat melihat kepribadiannya. Dia cenderung menghabiskan banyak waktu di kos. Dia hidup sendiri dan sebagai single di sebuah kos. Paling-paling, dia bertemu dengan orang lain di tempat kerja. Jarang sekali dia mengikuti kegiatan keluarga. Dia cenderung merasa nyaman tinggal di kos dan berada sendiri.
Banyak anggota keluarga tidak terima dengan kepribadiannya itu. Bagi mereka, berkumpul bersama anggota keluarga merupakan hal yang sangat perlu.Â
Padahal, itu merupakan kepribadiannya. Kepribadiannya menjadikannya nyaman untuk hidup sendiri, meski berstatus single dan menghabiskan banyak waktu di rumah.
Tinggal sendiri sebagai seorang single mempunyai suka dan dukanya. Suka dan dukanya itu bergantung pada kepribadian setiap orang.
Namun di balik itu, tinggal sendiri dan sebagai seorang single di masa karantina memberikan banyak pelajaran hidup. Salah satunya mengenai makna relasi sosial.
Ternyata, relasi sosial sangatlah penting. Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan kita membangun relasi sosial dengan orang lain.
Sebaliknya, kita memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk berelasi secara positif dan benar dengan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H