Ada pelbagai istilah asing yang menghiasi halaman bahasa kita berbarengan ancaman penyebaran virus Corona. Penggunaan bahasa asing itu bisa memberikan keuntungan tetapi juga bisa beresiko bagi masyarakat.
Pada satu sisi, kita menjadi terbiasa dengan ungkapan-ungkapan asing yang dipakai oleh negara-negara lain. Sehingga saat kita berhadapan dengan musibah yang sama dan mereka menggunakan istilah-istilah asing, kita bisa memahaminya.
Resikonya, saat istilah-istilah asing ini diberikan kepada orang-orang yang tingkat pendidikannya tidak memadai. Menjadi persoalan kalau mereka tidak memahami istilah-istilah tersebut.
Padahal pemahaman pada istilah-istilah asing itu menjadi langkah awal untuk menuruti arahan dan aturan. Sebaliknya saat kita tidak memahami istilah-istilah itu, kita bisa terjebak pada ketidakpahaman yang berujung pada buta aturan dan arahan.
Hemat saya, penggunaan istilah-istilah asing bisa dipahami. Pasalnya, wabah virus corona bukan hanya terjadi di lingkup Indonesia. Virus corona ini sudah menyebar di 160-an negara.
Penggunaan istilah bahasa Inggris ini merupakan bagian dari kenyataan kalau bahasa Inggris adalah bahasa yang dipahami oleh banyak orang dan negara.
Pada situasi seperti itu, inilah tugas dari pemerintah, aparat kesehatan dan siapa saja yang berwenang untuk menerjemahkan istilah itu dalam pemahaman dan konteks yang lebih sederhana dan konkret. Â
Tidak menjadi persoalan kalau istilah-istilah asing ditangkap oleh orang-orang yang berpendidikan. Tetapi kalau hal itu ditangkap dan didengar oleh orang-orang tak berpendidikan memadai. Jadinya istilah itu bisa sekadar bunyian, sementara dampak dan pemahamanya berlalu begitu saja.
Salah satu istilah yang kerap mencuat berbarengan dengan penyebaran virus Corona adalah social distancing. Menjaga jaga jarak secara sosial.
Yah, social distancing merupakan salah satu istilah yang kerap hadir di tengah wabah virus Corona. Saya kira istilah ini beberapa kali diulas di halaman Kompasiana. Tujuannya, agar istilah ini bisa dipahami dan diaplikasikan.
Secara harafiah saya memahami istilah bahasa Inggris, social distancing, sebagai upaya menciptakan jarak secara sosial. Kita menciptakan jarak secara sosial dengan yang lain terutama di tengah wabah penyakit menular seperti virus Corona.
Tara Parker-Pope, dalam artikelnya, Deciding How Much Distance You Should Keep (the New York Times 19/3/2020) menulis kalau social distancing merupakan upaya untuk menciptakan jarak secara fisik antara orang yang tidak tinggal dalam satu tempat.
Sebagai konsekuensi dari social distancing adalah meliburkan sekolah, membatalkan acara-acara yang melibatkan banyak orang dan lain sebainya. Jadi, orang terpisah secara komunitas sosial.
Meski terpisah pada komunitas sosial tertentu, sebagaian besar orang kembali ke rumah masing-masing. Rumah merupakan salah satu lingkungan sosial. Pada titik seperti inilah, istilah social distancing bisa saja tidak berlaku. Â
Badan kesehatan dunia menilai kalau istilah "social distancing" terlalu luas. Salah satu kepala unit dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), Maria Van Kerkhove mengatakan kalau sebaiknya kita menggunakan istilah physical distancing daripada social distancing (ABS-CBN, 21/3/2020).
Dalam pandangannya, physical distancing hanya menekankan jarak fisik antara satu orang dengan orang lain tanpa terpisah secara sosial.
Kalau social distancing, penekanannya bukan hanya jarak fisik antara satu dengan yang lain tetapi ini bisa menciptakan kecenderungan dalam menutup diri secara social.
Dalam physical distancing, kita terpisah secara fisik. Aturannya kalau dalam kerumunanan dan keramaihan, kita menjaga jarak sekitar satu meter.
Jarak yang tercipta itu adalah jarak fisik, tetapi kita tidak terpisah secara sosial. Memang secara fisik kita berpisah, tetapi secara sosial kita masih bisa menjalin relasi. Relasi itu bisa tanpa sentuhan, tetapi lewat bahasa tubuh yang bisa dipahami antara satu sama lain.
Di rumah kita menjaga jarak secara fisik, tetapi kita masih dalam satu komunitas yang sama. Keterpisahan itu tidak menutup diri kita untuk berinteraksi dalam satu rumah. Sembari menjaga jarak secara fisik, kita masih membangun relasi sosial. Â
Meski arahan-arahan untuk mencegah virus Corona ini dari bahasa asing, kita pun ditantang untuk menerjemahkan istilah-istilah itu dalam bahasa yang sederhana dan konkret. Jangan sampai, banyak yang tidak mengikuti arahan karena tidak memahami istilah-istilah yang dipakai dan diberikan.
Dalam situasi ancaman virus Corona, kita diminta untuk menjaga jarak secara fisik. Meski kita terpisah secara fisik, kita masih mempunyai kemungkinan berkomunikasi.
Komunikasi ini merupakan bagian dari keberadaan kita sebagai makluk sosial. Dengan ini pula, kita tidak merasa terisolasi secara total. Alasannya, kita masih berkomunikasi dengan orang lain, terlebih lagi lewat keberadaan media sosial saat ini.
Apa pun istilahnya, social distancing atau juga physical distancing, yang terpenting kita memahami dan mempraktikkan pesan di baliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H