Di hadapan serangan wabah virus Corona, banyak orang yang harus membatalkan rencana, program dan jadwal mereka. Apalagi kalau hal-hal itu berada dalam jangka waktu karantina dan lockdown yang ditentukan oleh pemerintah.
Betapa tidak, arahan untuk melakukan "social distancing" dan menjauhi keramaian berada di balik pembatalan itu. Apa jadinya sebuah acara sukacita, seperti perayaan pernikahan, hanya dihadiri orang-orang terbatas dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Hambar!
Di Filipina, pemerintah membatasi jumlah orang dalam kerumunan hanya maksimal 30 orang. Dalam situasi itu, setiap orang yang hadir mesti diwajibkan untuk menjaga jarak. Paling kurang, jarak antara satu dengan yang lain adalah 1 meter.
Berhadapan dengan situasi seperti itu, pembatalan acara-acara yang berhubungan dengan keramaian merupakan solusi. Meski sulit untuk membatalkan sebuah acara, tetapi itu merupakan solusi untuk melindungi banyak orang. Â
Saya kira tidak sedikit orang, kelompok dan institusi yang membatalkan acara-acara mereka selama wabah virus Corona menyerang. Tujuannya, untuk meminimalisir penyebaran virus Corona kepada orang yang lebih banyak.
Memang sangat sulit untuk membatalkan sebuah jadwal yang sudah direncanakan dalam jangka waktu yang lama. Tetapi kalau mau berpikir lebih jauh, pembatalan itu mempunyai tujuan baik. Tujuannya bukan saja untuk penyelenggara acara, tetapi juga bagi siapa saja yang terlibat dalam acara tersebut.
Penyelenggara acara sudah menjauhkan dirinya dari resiko besar. Sementara itu banyak orang terlindungi dari kemungkinan terburuk.
Di beberapa tempat di Filipina, bulan Maret dan April begitu banyak orang yang memutuskan untuk melangsungkan pernikahan. Salah satu alasan adalah karena banyak orang yang berlibur pada bulan-bulan seperti itu. Pada bulan-bulan itu juga, cuaca memungkinkan untuk membuat acara-acara besar.
Seperti di Indonesia, acara pernikahan kerap dihadiri banyak orang. Acara dikemas dengan pelbagai program.
Secara umum, program-program itu tidak luput keterlibatan dari banyak orang. Jadi, acara pernikahan tanpa kehadiran banyak orang terasa mustahil bagi orang Filipina. Saya kira ini juga berlaku untuk orang Indonesia.
Banyak pasangan yang sudah merencanakan pernikahan sejak bulan Januari. Di balik rencana itu, mereka harus menjalankan proses tertentu agar memenuhi kriteria untuk menikah.
Dalam konteks Gereja Katolik, agama yang merupakan mayoritas di Filipina, mewajibkan setiap pasangan yang mau menikah untuk melaporkan diri sebulan sebelum tanggal pernikahan. Tujuannya agar mereka bisa mempersiapkan diri secara spiritual dan melengkapi dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pernikahan. Â
Tidak sedikit pasangan yang sudah mulai melakukan proses pernikahan dua bulan sebelum tanggal pernikahan. Terlebih khusus bagi mereka yang tinggal di tempat jauh dan sibuk dengan pekerjaan mereka.
Contohnya, kalau ada pasangan yang menikah di bulan April, pasangan itu sudah melakukan proses pendaftaran di bulan Januari dan Februari. Mereka beralasan karena ketersediaan waktu untuk melakukan persiapan.
Tentunya perencanaan ini tidak hanya terjadi pada level institusi gereja. Keluarga kedua belah mempelai juga mempunyai persiapan tersendiri. Persiapan mereka bisa berupa materi, anggaran makanan, tempat resepsi, undangan dan lain sebagainya.
Namun tahun ini situasi berubah saat Virus Corona mewabah. Pemerintah memutuskan lockdown beberapa tempat di Filipina. Pelbagai acara yang berhubungan dengan keramaian dianjurkan untuk dibatalkan hingga masa karantina itu berakhir.
Keputusan ini ikut berdampak pada jadwal pernikahan. Mau tidak mau, rencana pernikahan mesti dibatalkan. Pasalnya, acara pernikahan melekat dengan keramaian.
Selain itu, pastinya kedua mempelai berpikir panjang untuk merayakan pernikahan di tengah situasi seperti itu. Di acara pernikahan, banyak orang ingin mengekspresikan kegembiraan. Tetapi kalau kegembiraan itu direngut oleh pembatasan-pembatasan tertentu, jadinya situasi dan acara pernikahan itu menjadi hambar.
Pembatalan jadwal nikah tidak boleh dilihat dari salah satu sudut pandang. Kita juga perlu melihat itu dari sudut pandang sesama (kepentingan umum) yang hadir dalam acara itu.
Pembatalan itu merupakan kontribusi kita dalam menjaga orang lain dari penyebaran Covid-19. Toh, pembatalan bukanlah akhir dari hubungan kedua mempelai.
Kalau pernikahan itu didasarkan pada cinta, pastinya hubungan itu tidak ditentukan oleh jadwal perayaan nikah. Pembatalan bukanlah akhir. Toh, waktu lain masih ada.
Sebaliknya, pembatalan itu sendiri sudah membantu orang lain tidak masuk dalam situasi sulit. Tidak bisa dibayangkan kalau kita "ngotot" membuat sebuah acara nikah, padahal salah satu anggota yang hadir acara itu sudah terjangkit Covid-19. Hal itu bisa merusak reputasi pemilik pesta dan menimbulkan kecemasan bagi banyak orang.
Suka atau tidak, pembatalan sebuah acara, seperti acara nikah adalah solusi yang mesti diambil. Pembatalan itu juga merupakan cara untuk membatasi penyebaran virus Corona kepada banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H