Kosa kata Lockdown menjadi familiar saat pemerintah China memutuskan  untuk menutup akses ke kota Wuhan. Kota Wuhan menjadi muara pertama kehadiran Covid-19.
Kota yang dikenal sebagai salah satu kota dengan pasar makanan eksotis ini terkunci. Masyarakat dianjurkan untuk tinggal dan berada di rumah. Tujuannya agar virus Corona tidak menyebar luas.
Di balik langkah lockdown ini pemerintah juga bekerja ekstra keras. Fasilitas medis dibangun dan dipersiapkan sebaik mungkin. Petugas medis diperbanyak. Penelitian tentang virus Corona ditingkatkan. Alhasil, kota Wuhan perlahan-lahan keluar dari krisis Virus Corona.
Kebangkitan kota Wuhan ditandai oleh kunjungan dari Presiden China, Xi Jinping ke kota tersebut beberapa pekan lalu.
Pesan dari kunjungan ini adalah kota Wuhan bisa keluar dan kembali dari situasi krisi ke kondisi yang agak membaik. Pesan ini bisa menjadi pesan untuk semua negara yang berhadapan dengan situasi yang sama.
China berhasil keluar dari krisis ini karena mereka mempunyai kemampuan yang mumpuni. Fasilitas kesehatan saja bisa dibangun dalam rentang lebih dari sepekan. Karenanya, walaupun kota di-lockdown, pemerintah mempunyai kemampuan untuk menjamin situasi rakyat yang berada dalam jangkauan ruang isolasi tersebut.
Selain itu, lockdown dibuat karena kebutuhan mendesak. Pasien penderita Covid-19 meningkat drastis dalam waktu yang singkat. Keputusan lockdown dinilai menjadi pilihan untuk meminimalisir penyebaran virus Corona tersebut.
Sementara di Indonesia, pilihan untuk lockdown masih belum mendesak. Betapa tidak, kasus masih minim dibandingkan dengan negara-negara lain. Sejauh ini, ada 134 terinfeksi, 8 Sembuh dan 5 orang meninggal dunia.
Selain itu, pasien yang pertama-tama yang dideteksi menderita penyakit Covid-19 ini dinyatakan sembuh. Bahkan mereka dipertunjukkan di depan publik (Kompas.com 17/03/2020).
Kehadiran ketiga pasien Covid-19 ke hadapan publik menunjukkan kalau penyakit Covid-19 bisa disembuhkan. Pada kenyataannya, pemerintah bisa melakukan hal itu walaupun tanpa melakukan lockdown.
Keputusan lockdown tidak boleh dipandang sebelah mata. Keputusan lockdown ini tidak hanya mematikan aktivitas masyarakat untuk sekian waktu, tetapi bisa memberikan dampak psikologis kepada masyarakat.
Dalam media online "Quartz", Olvia Goldhill menulis tentang proses karantina yang mempunyai dampak pada penyakit mental (Quartz 16/03/2020). Goldhill melihat kalau karantina hanya bisa menghadirkan kebingungan dan rasa marah pada masyarakat yang tinggal dalam karantina tersebut.
Bagaimana pun juga, kita adalah makhluk sosial. Kondisi ini menuntut kita untuk berelasi dengan orang lain. Tetapi saat tiba-tiba ruang relasi kita itu dibatasi, kita pastinya merasa bingung dan kesepian. Karenanya, Goldhill menyarankan untuk melakukan hal-hal sederhana di rumah agar proses karantina tidak menjadi beban psikologis. Â
Untuk konteks Indonesia, seruan lockdown belumlah mendesak. Ini mesti dipertimbangkan secara matang agar keputusan itu tidak menjadi beban secara ekonomi dan persoalan mental bagi masyarakat.
Hal yang sama juga terjadi pada setiap kebijakan pemerintah sebagai upaya pencegahan Covid-19. Kebijakan-kebijakan itu seyogianya memberikan solusi yang tepat sasar, dan bukannya menciptkan persoalan baru. Salah satu kebijakan yang disoroti adalah kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Pak Anies mengeluarkan kebijakan yang membatasi jam operasional angkutan massa di Jakarta seperti Transjakarta, MRT dan LRT. Â Kebijakan ini malah menimbulkan persoalan baru.
Dalam mana, para penumpang bersesakkan satu sama lain. Alih-alih untuk mencegah virus Corona, para penumpang malah melakukan hal yang tak dianjurkan dalam pencegahan virus Corona. Mereka mesti berdesakan tanpa peduli pada keselamatan diri dari penyebaran virus Corona.
Setelah hal ini terjadi, Presiden Jokowi meminta pemerintah DKI Jakarta untuk mengembalikan jam operasional angkutan publik di Jakarta (17/03/2020). Ada pun operasi dari angkutan umum itu, yakni Transjakarta beroperasi 24 jam, MRT dari pukul 05.00-24.00 sementara LRT dari 05.00-23.00 (Kompas.com 16/03/2020).
Pak Anies mesti tunduk pada keputusan presiden. Keputusan pemerintah DKI Jakarta terlihat amburadul kalau menimbang situasi para penumpang yang bersesakkan.
Kebijakan dan keputusan dalam situasi bencana merupakan hal yang cukup sensitif. Salah atau keliru mengambil keputusan dan kebijakan acap kali sulit terhindarkan. Meski demikian, pemerintah mesti tahu kalau keputusan itu tidak memberikan dampak negatif yang cukup besar.
Keputusan lockdown bukanlah hal yang gampang untuk diputuskan untuk konteks Indonesia. Segala sesuatu mesti dipertimbangkan dengan seksama agar keputusan itu berdampak positif.
Saya kira belajar dari keputusan Pak Anies yang membatasi jam operasional angkutan umum bisa menjadi pelajaran dalam mengambil setiap keputusan di tengah situasi krisis Covid-19.
Setiap keputusan dan kebijakan di tengah situasi krisis tidak boleh menambah beban baru dalam situasi krisis tersebut. Keputusan dan kebijakan itu menghadirkan kenyamanan bagi masyarakat yang berada dalam situasi sulit karena krisis yang sementara dihadapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H