Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Uang Jajan untuk Anak di Sekolah: Kebutuhan ataukah Bentuk Memanjakan Anak?

4 Maret 2020   17:03 Diperbarui: 4 Maret 2020   23:35 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu masih berada di bangku SD pada tahun 90-an, orangtua saya tidak pernah memberikan uang jajan kalau pergi sekolah. Salah satu alasan orangtua adalah jarak antara rumah kami dan sekolah tidak terlalu jauh. Kalau lapar di jam istirahat, pulang ke rumah menjadi pilihan yang lebih baik daripada membeli jajan di sekolah.


Seingat saya, hanya beberapa teman mendapat uang jajan dari orangtua. Setiap kali istirahat mereka berbelanja di kantin sekolah atau kios terdekat.

Saya tidak sendirian tidak memiliki uang jajan. Bahkan di antara teman yang lain tidak memiliki uang jajan karena situasi dan kondisi keluarga mereka. Pemberian uang jajan mungkin saja memberikan beban tambahan biaya selain anggaran uang sekolah dan keperluan sekolah.

Pengalaman dari bangku Sekolah Dasar ini memberikan manfaat saat berada di SMP dan SMA. Ketiadaan uang jajan bukanlah persoalan. Bahkan hal itu secara langsung melatih diri untuk selalu sarapan di pagi hari sebelum ke sekolah.

Situasi menjadi berbeda di keluarga kami saat saudari bungsu kami bersekolah. Orangtua mulai membiasakan untuk memberikan uang jajan. Alasannya karena letak sekolah yang agak jauh dari rumah. Setiap hari dia mendapat uang jajan. Jadinya, meminta dan mendapatkan uang jajan sebelum pergi ke sekolah seolah menjadi ritual hariannya di pagi hari.

Namun di balik ritual ini, saudari kami acap kali tidak bergairah untuk menghabiskan sarapan pagi. Apalagi kalau sarapan yang hampir sama setiap hari.  

Membeli jajan di sekolah menjadi penebusan dari rasa lapar karena tidak sarapan. Kebiasaan pun terbawa hingga sekarang ini. Dia menjadi terbiasa pergi ke tempat kerja tanpa sarapan karena selalu berpikir untuk jajan di tempat kerja. Hemat saya, hal itu bisa menciptakan biaya tambahan, apalagi harga makanan yang kerap berbeda.

Selain dari pengalaman saudariku ini, satu hal yang kujumpai dari kebiasaan memberikan uang jajan adalah uang jajan seolah menjadi jaminan bagi seorang anak pergi ke sekolah. Bahkan tidak sedikit orangtua yang menggunakan siasat uang jajan untuk menggoda anak untuk pergi ke sekolah dan berprestasi di sekolah.

Sebaliknya, anak bisa menggunakan alasan ketiadaan uang jajan untuk tidak pergi ke sekolah. Tanpa uang jajan, pergi ke sekolah pun bisa dibatalkan.

Salah seorang wali kelas dari salah satu sekolah SMP di Filipina pernah berkisah tentang tugas mereka sebagai wali kelas. Saat seorang anak murid sudah tidak masuk ke sekolah selama tiga hari berturut-turut, wali kelas bertanggung jawab untuk pergi ke rumah sang siswa dan menanyakan alasan tidak ke sekolah. Dari pelbagai alasan yang dijumpai, salah satu alasan siswa tidak ke sekolah adalah karena tidak memiliki uang jajan dari orangtua.

Tidak salah memberikan uang jajan. Pemberian uang jajan kepada anak mesti dibarengi dengan pendidikan yang memberikan kesadaran kepada anak. Uang jajan bukanlah jaminan untuk berada di sekolah. Uang jajan hanya disiapkan kalau sesekali anak merasa lapar di sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun