Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesamaan Ide Perkawinan Lintas Tingkat Perekonomian ala Menko PMK dan Kasus Kawin Kontrak di Bogor

21 Februari 2020   06:46 Diperbarui: 21 Februari 2020   07:19 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto Detik.com

Di balik kematian Ashraf Sinclair, suami Bunga Cinta Lestari (BCL), banyak hal yang menarik perhatian publik tentang kisah cinta kedua insan ini. Salah satunya, hanya maut yang memisahkan kisah cinta kedua pasangan artis ini.
 
Pendeknya, kisah cinta pasangan artis ini seyogianya wajah dari setiap perkawinan yang dilangsungkan di dunia ini. Hanya maut yang memisahkan kedua insan yang memutuskan untuk menikah.  

Pada dasarnya, orang menikah dan berumah tangga karena rasa suka sama suka. Perasaan suka sama suka ini  merupakan perwujudan dari apa yang biasa kita sebut sebagai ungkapan cinta dua orang, laki-laki dan perempuan.

Secara umum, pernikahan menjadi awet dan bertahan karena rasa cinta yang terbangun antara kedua belah pihak itu. Rasa cinta itu hadir bukanlah sesuatu yang instan.
 
Rasa cinta itu terbangun lewat sebuah relasi dalam rentang waktu tertentu. Rasa cinta itu pun diuji dan ditempah hingga melahirkan sebuah keputusan untuk menikah.

Sebaliknya, tanpa adanya rasa cinta, relasi gampang berakhir. Begitu pula sebuah perkawinan, dalam mana saat cinta antara kedua pasangan memudar, hal itu bisa bermuara pada konflik dan perceraian.

Atau juga, tanpa rasa cinta, perkawinan hanyalah sebuah bentuk kontrak berdasarkan pada kepentingan dan waktu yang telah ditentukan.

Inilah salah satu wajah dari persoalan kawin kontrak di Bogor yang menyeruak di beberapa media beberapa hari terakhir ini.

Namanya kawin kontrak, pastinya ikatan yang terjadi hanya berdasarkan pada kepentingan dan waktu tertentu. Saat kondisi yang meliputi perkawinan itu terpenuhi dan tercapai, perkawinan itu pun berakhir dan berhenti.

Singkatnya, kawin kontrak berlangsung karena kondisi dan kepentingan tertentu. Rasa cinta terabaikan dan mengedepankan kepentingan masing-masing pihak.

Bisa saja, motif salah satu pihak untuk melangsungkan kawin kontrak itu karena kepentingan ekonomi dan salah satunya hanya karena faktor nafsu semata. Nilai kontraknya pun lebih berdasar pada kepentingan itu, terutama motif bisnis.

Di balik persoalan kawin kontrak di Bogor yang masih segar, di beberapa media juga keluar berita tentang usulan dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy.

Beliau menganjurkan untuk mengeluarkan fatwah tentang orang kaya mesti menikahi dengan orang miskin. Andaikata fatwah ini disetujui, ini bisa menjadi beban tersendiri bagi orang kaya.
 
Anjuran Menko PMK itu diberikan kepada Menteri Agama, Fachrul Razi. Tujuannya sebagai gerakan moral untuk memutus rantai kemiskinan. Padahal tidak sedikit orang kaya yang juga bermula dari orang miskin.  Ada pula orang miskin yang pernah karena kaya, tetapi karena gaya hidup berkubang pada kemiskinan (liputan6.com 20/2/2020).

Tujuan dari usulan Menko PMK ini memang mulia yakni untuk mengentaskan kemiskinan. Tetapi caranya yang terasa membingungkan dan kadang sulit dipahami.

Pada titik pertama, usulan ini sudah merendahkan nilai perkawinan. Setiap agama mempunyai pemahaman yang berbeda tentang perkawinan. Pada dasarnya, agama meyakini kalau perkawinan merupakan ekspresi iman kedua belah pihak.
 
Perkawinan itu merupakan persatuan antara suami dan istri atas dasar cinta. Bagi agama Kristen bahkan menyatakan kalau sebuah perkawinan adalah relasi yang suci dan kudus.

Negara mempunyai batasan dalam urusan perkawinan sepasang insan. Batasan itu berupa aturan-aturan tertentu.

Sementara yang tidak bisa dijangkau oleh negara atau maupun institusi mana pun yakni soal hati kedua insan. Perkawinan selalu berkaitan dengan urusan hati kedua belah pihak. Pada level ini, negara tidak boleh mencampurinya.

Soal hati kedua insan sangat sulit dijangkau oleh aturan negara maupun institusi mana pun. Tidak heran, ada yang menikah walaupun berbeda agama, negara, dan latar belakang tertentu. Hal ini terjadi karena disposisi batin kedua belah pihak yang tidak sulit dikontrol oleh pihak mana pun.

Hemat saya, gagasan perkawinan lintas tingkat perekonomian hampir serupa nilainya dengan kawin kontrak. Perkawinan hanya dilihat dari aspek latar belakang sosial ekonomi, tanpa melihat lebih jauh tentang perasaan kedua belah insan.

Dengan kata lain, kesamaannya terletak intensi dari perkawinan, dalam mana bukan karena cinta kedua belah pihak, tetapi soal sosial-ekonomi kedua belah pihak.

Dengan kata lain, gagasan perkawinan lintas tingkat perekonomian hanya serupa dengan kontrak antara orang kaya dengan orang miskin. Saat kontrak itu tercapai dalam arti orang miskin mendapat perbaikan status, dia pun dengan gampang diceraikan. Kontraknya hanya sebatas pada pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Saya kira juga persoalan kawin kontrak di Bogor lebih pada soal ekonomi. Para perempuan rela dinikahkan demi kebutuhan ekonomi tanpa peduli pada perasaan.

Sejatinya, perkawinan itu merupakan perwujudan cinta kedua belah pihak. Cinta inilah yang akan menjadi fondasi kuat bagi kehidupan kedua belah insan. Cinta inilah penopang kehidupan kedua belah pihak.  

Jadi gagasan perkawinan lintas tingkat perekonomian hanyalah sebuah beban baru bagi kehidupan sosial laiknya persoalan kawin kontrak di Bogor.

Gobin Dd

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun