Mentalitas jam karet ini mungkin tidak terjadi di seluruh konteks Indonesia. Istilah mentalitas jam karet ini saya jumpai untuk segelintir orang dalam konteks kami di Manggari, Flores, NTT.
Meski tidak semuanya menghidupi mentalitas ini, tetapi ada segelintir orang yang menghidupi mentalitas ini.
Mentalitas jam karet ini nampak saat orang terbiasa dengan keterlambatan dan tidak tepat waktu dalam menghadiri sebuah kegiatan.
Contohnya, saat ada sebuah kegiatan dan waktunya sudah disepakati bersama. Namun pada kenyataannya, banyak yang terlambat dan tidak tepat waktu. Namun orang memahami hal itu dan berusaha memakluminya dengan beralasan mentalitas jam karet.
Jadinya, ketidaktepatan waktu bukan menjadi persoalan yang tidak perlu disikapi secara serius. Dengan kata lain, orang umumnya sudah menerima dan memahami situasi tersebut.
Bahkan tidak jarang juga terjadi kalau kesepakatan mengatur jadwal dan waktu sebuah kegiatan bergantung pada mentalitas jam karet tersebut.
Misalnya, saat sebuah acara disepakati untuk berlangsung pada jam tertentu. Tetapi di balik kesepakatan itu ada juga awasan berupa mentalitas jam karet yang memungkinkan orang terlambat. Orang pun membuat jadwal lebih awal dari waktu yang seharusnya karena penyelenggara sudah tahu banyak yang akan datang terlambat.
Kalau jadwal kegiatan jam 10 pagi, penyelenggara sengaja menyampaikannya jam 9 pagi dengan pertimbangan mentalitas jam karet. Saat banyak yang terlambat, kegiatan pun bisa diundur hingga jam 10 sebagai waktu yang sudah ditentukan penyelenggara.
Mentalitas jam karet ini secara umum berlaku bagi siapa saja yang tidak tepat waktu. Jadwal sudah ditetapkan tetapi selalu terlambat dan tidak tepat waktu.
Ada kegiatan bersama dan orang selalu beralasan kegiatan itu diundur karena mentalitas jam karet yang dihidupi di masyarakat.
Di balik pandangan seperti ini, saya kira berdiam sebuah pembiaran dan pembenaran ketidaktepatan waktu.