Kata "banci" itu identik dengan kaum pria yang bertingkah laku seperti seorang wanita. Fisiknya laki-laki, tetapi pembawaan dirinya mengikuti gaya pembawaan diri kaum perempuan.
Kata "banci" umumnya disematkan untuk kaum gay. Meski demikian, pandangan lain juga mengatakan kalau tidak semua kaum gay masuk kategori banci karena penampilan fisik mereka sungguh-sungguh sebagai seorang laki-laki, tetapi orientasi mereka berbeda dari orientasi seksual sebagai seorang laki-laki.
Dalam konteks masyarakat kami, yang kuat berpegang pada budaya patriarki, sosok laki-laki identik dengan figur yang kuat, gentle, tegas, kekar dan cekatan.
Tetapi pada saat ada figur seorang laki-laki yang tidak mengikuti pandangan seperti itu, tidak sedikit orang pun yang menilai laki-laki tersebut sebagai seorang "banci." Padahal faktanya laki-laki tersebut mempunyai orientasi seksual sebagai laki-laki pada umumnya dan pembawaan dirinya tetap sebagai seorang laki-laki.
Saya ingat pengalaman sewaktu Sekolah Dasar. Saat salah satu teman kami tidak bisa menyeberang jembatan yang relatif tinggi di sebuah sungai, serentak saja teman-teman yang lain menilai dan mengolok kalau teman itu sebagai seorang banci. Dia disebut banci hanya karena ketakutannya untuk menyeberang jembatan. Padahal faktanya dia adalah seorang laki-laki tulen.
Saya juga pernah dipanggil banci hanya karena tidak mau diajak bertarung dengan teman tetangga. Karena berkali-kali dipanggil banci, akhirnya saya pun mengiyakan ajakan untuk bertarung. Daripada dinilai banci oleh rekan sebaya, lebih baik saya mengikuti keinginan kelompok. Dengan ini pula ikut keinginan kelompok juga menjadi cara untuk menjadi bagian dari kelompok.
Pengalaman waktu itu mengatakan kalau dipanggil sebagai banci merupakan sebutan yang terasa menyakitkan hati, meski konsep tentang banci masih terasa asing dalam konteks sosial. Kaum banci kala itu memang masih dipandang sebagai sekelompok orang yang belum sepenuhnya diakui secara publik dalam konteks sosial.
Untuk menghindari dari sebutan dan panggilan sebagai banci, tidak sedikit orang yang memaksakan diri untuk berani menghadapi pelbagai hal walaupun secara fisik dia tidak mampu.
Tidak sedikit orang juga yang marah dan sakit hati hanya karena dipanggil banci. Ujung-ujungnya hal itu menimbulkan perkelahian dan konflik.
Seorang teman nekat memukul temannya hanya karena dia dipanggil banci saat bermain sepak bola. Atau ada orang yang begitu sakit hati kepada orang-orang tertentu yang kerap menyebutnya banci padahal kenyataannya dia bukanlah seorang banci.
Banci selalu berhubungan dengan anggota LGBT, kaum waria (wanita pria) atau seperti yang saya katakan sebelumnya. Mereka adalah laki-laki, tetapi faktor biologis tertentu membentuk pembawaan diri mereka menjadi seperti seorang perempuan.
Namun dalam konteks masyarakat tertentu, ungkapan "banci" selalu mengarah pada pandangan yang salah. Kalau ada pandangan yang salah, pastinya ada juga sikap yang salah kepada orang lain, termasuk orang yang dikategorikan dalam kelompok banci.
Hemat saya, pandangan yang salah ini terlahir dari konsep yang salah tentang "banci." Konsep yang salah ini bisa terlahir karena kekurangan pengetahuan, faktor sosial dan budaya dan kesempitan pola pikir.
Untuk konteks masyarakat yang memegang budaya dan konteks sosial yang begitu kental dengan patriarkat, pastinya orang-orang yang dikategorikan sebagai banci sangat sulit diterima. Mereka bisa saja disingkirkan dari pergaulan dan konteks sosial.
Akibatnya, kaum banci yang masuk dalam golong LGBT juga merasa tidak bebas. Konotasi yang disematkan kepada kaum mereka pun menimbulkan gap. Mau tidak mau, mereka menyembunyikan diri. Mereka tidak bebas berekspresi.
Di beberapa negara, kaum LGBT yang berwujud salah satunya dengan keberadaan kaum banci merupakan hal yang lumrah dan diterima secara terbuka. Mereka mendapat pengakuan tidak saja dari pemerintah tetapi dari konteks sosial di mana mereka berada seperti di keluarga, di sekolah dan agama.
Salah satu negara yang mengakui keberadaan kelompok LGBT ini adalah Filipina. Keberadaan kaum LGBT, seperti kaum banci menjadi hal yang lumrah di tengah masyarakat Filipina. Mereka mendapat ruang dan waktu untuk mengekspresikan diri mereka di tengah masyarakat. Bahkan banyak dari antara mereka yang memberikan kontribusi baik itu level sosial, budaya maupun politik.
Kaum LGBT juga tidak hanya diakui di masyarakat, bahkan dalam konteks keluarga mereka diterima dan diakui sebagai bagian dari sebuah keluarga. Pengakuan di keluarga menjadi benih awal bagaimana mereka merasa mendapat tempat di tengah masyarakat.
Saat keluarga menutup dan memojokkan mereka, pada saat itu mereka akan merasa tersakiti dan merasa diri menjadi beban sosial. Tetapi saat keluarga mengakui dan menerima mereka apa adanya, saat itu pula mereka mendapat pondasi untuk berlangkah ke konteks sosial yang lebih luas. Hal ini pun menyebabkan relasi yang harmonis di tengah masyarakat.
Saya kira sudah saatnya kita mempunyai pengetahuan yang komprehensif tentang kaum LGBT, termasuk kaum banci. Saat kita mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kelompok ini, kita pun bisa terhindar dari pandangan, pola pikir dan tingkah yang keliru.
Sebaliknya, saat kita mempunyai pengetahun yang cukup, kita tidak segampangnya menghakimi kelompok ini, terutama saat ada persoalan yang terjadi dalam konteks sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H