Ujian Nasional (UN) seolah menjadi momok bagi para siswa mulai dari SD hingga SMA. Paling tidak, ini adalah pengalaman kami yang bersekolah di bangu SD tahun 90-an hingga awal 2000-an.
Sebelum Ujian Nasional berlangsung, aneka persiapan dilakukan oleh para siswa. Persiapan itu tidak hanya menyangkut persiapan akademik, tetapi juga persiapan rohani.
Sebelum ujian berlangsung, banyak anak sekolah yang rajin pergi berdoa di gereja atau mengunjungi tempat doa-doa tertentu. Semuanya ini dilakukan agar bisa lulus atau berhasil di ujian nasional.
Saya juga masih ingat saat ayah saya membeli buku kisi-kisi soal untuk ujian akhir sekolah dasar. Hampir setiap hari saya mereview buku tersebut tanpa berpikir apakah soal yang ada di dalam buku itu akan keluar pada waktu ujian atau tidak.
Belum lagi pembuat soalnya berasal dari luar daerah. Kami tidak pernah berpikir apakah pembuat soalnya itu adalah seorang guru yang bersentuhan dengan bidang penyusunan soal ujian akhir nasional, ataukah menyusun soal demi kepentingan bisnis.
Apalagi banyak orang begitu cemas dan takut berhadapan dengan ujian akhir nasional. Membeli buku tentang kemungkinan soal-soal ujian acap kali menjadi pilihan banyak orang. Â
Sampai tingkat SMP dan SMA, kebiasaan review dibuat dengan mengambil soal-soal yang pernah dipakai pada ujian nasional pada tahun-tahun sebelumnya.
Sekolah atau individu berinisiatif untuk membuat bundelan besar yang berisi kumpulan soal dari lima-sepuluh tahun terakhir. Saat membaca soal-soal itu, ada yang memang sama dan ada yang hanya beda formulasi pertanyaan.
Bahkan para guru juga tidak ketinggalan metode dan pendekatan. Mereka juga menggunakan kumpulan soal itu untuk diajarkan di kelas atau menjadi bahan review di ruang kelas. Ini biasanya terjadi beberapa bulan sebelum ujian nasional.
Memang situasi sewaktu ujian nasional terasa begitu mencekam. Lulus bukan hanya memberikan kelegaan dan kebanggaan bagi diri sendiri, tetapi bagi keluarga. Anggota keluarga akan mewartakan kalau anaknya berhasil lulus UN. Tentunya ini dilakukan karena tingkat kesulitan UN dan adanya peluang untuk tidak lulus.
Kalau tidak lulus pun, hal ini menjadi pengetahuan banyak orang. Kalau banyak orang mengetahui hal ini, tidak jarang terjadi kalau yang tidak lulus mengalami depresi ringan dan menjadi malu untuk keluar rumah.