Adik saya pernah mengalami itu. Karena tidak lulus UN tahap pertama, dia mesti mengambil ujian ulangan. Sedihnya, dari ratusan orang siswa, hanya tiga dari mereka yang tidak lulus.
Bersyukur pada masanya sudah ada kebijakan kalau bagi yang tidak lulus pada ujian pertama, mereka berkesempatan untuk mengambil ujian ulangan.
Tetapi kalau tidak, mereka akan bersekolah lagi setahun untuk mengikuti ujian di tahun berikutnya. Pastinya bebannya lebih berat.
Ya, gara-gara tidak lulus UN adik saya sedikinya mengalami keputusasahan. Bersyukur karena orangtua kami tidak mempersoalkan hal itu atau menyalahkannya atas ketidaklulusan itu. Kelihatannnya orangtua sudah siap menerima hasil dari UN. Bahkan orangtua juga terus mendorong melanjutkan pendidikan tanpa peduli dengan situasi.
Meski tidak lulus dan sedikit mengalami tekanan batin, adik saya tetap melanjutkan pendidikan di bangkut kuliah. Proses kuliahnya berjalan lancar. Setelah berkuliah, dia pulang ke kampung.
Di kampung dia melamar kerja dan dia diterima. Tandanya, label ketidaklulusan UN sewaktu  SMA tidak bisa standar utama untuk menentukan sama sekali keberhasilan seseorang di kemudian hari.
Belum tentu juga mereka yang lulus mulus UN bisa menyelesaikan bangku kuliah atau kemudian mendapat pekerjaan.
Mungkin untuk masa kini, soal lulus dan tidak lulus tidak terlalu ketat seperti di tahun 90-an hingga awal 2000-an. Kebijakan lulus atau tidak seorang siswa bergantung pada keputusan sekolah.
Ketidaklulusan waktu UN bisa menimbulkan luka batin bagi peserta didik. Kalau tidak kuat memikul luka batin tersebut, hal itu bisa bermuara pada keputusasahan untuk melanjutkan pendidikan.
Gagasan Nadiem Makarim untuk mengganti UN dengan sistem penilaian baru  perlu disambut positif. Sekiranya metode penilaian baru itu tidak mengulang pengalaman masa silam.
Dalam arti, apa pun pendekatan yang akan dibuat, semuanya itu bisa mengakomodasi akumulasi proses belajar seorang perserta didik dan bisa mendorong seorang peserta didik untuk bisa terus belajar lebih giat. Metode penilaian baru sekiranya bisa mengakomodasi kebutuhan sekolah, realitas sosial dan peserta didik.
Saya sangat setuju untuk mengganti sistem UN dengan proses penilaian baru. Asalkan sistem penilaian baru itu nantinya betul-betul mengena dan sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia.