Di kalangan masyarakat Manggarai dan mungkin Flores, NTT pada umumnya, HIV/AIDS (masih) dinilai sebagai momok yang cukup menakutkan.
Saat seorang diketahui menderita HIV/AIDS, ada pelbagai macam interprestasi yang muncul.
Interprestasi itu bukan saja tentang penyakit tersebut dan sebabnya, tetapi juga tentang kepribadian dari orang yang menderita penyakit itu.Â
Ada banyak spekulasi yang menyeruak tentang kepribadian dari penderita. Secara umum, penderita akan dinilai sebagai pribadi yang tidak benar. Apalagi kalau yang bersangkutan sudah berkeluarga.
Bahkan saat yang menderita penyakit itu sudah mempunyai latar belakang yang negatif di mata masyarakat, mereka seolah membenarkan apa yang telah terjadi itu. Pendeknya, masyarakat tidak hanya menilai penyakitnya saja, tetapi juga menyangkut kepribadian dari penderita.
Akibat lanjutnya, bukan hanya penderita yang mesti merasa malu dan terbebankan, tetapi juga keluarga dari penderita.
Karenanya, seringkali terjadi kalau keluarga penderita berusaha menyembunyikan sakit dari penderita dengan menyebut penyakit lainnya. Atau mereka akan menyembunyikan perawatan dari penderita dari pandangan mata orang lain.
Upaya ini terlahir karena anggapan kalau HIV/AIDS merupakan penyakit yang sulit diterima oleh lingkup sosial pada umumnya. Â
Masih terekam dalam ingatan saya kalau di tahun 90-an, HIV/AIDS selalu melekat dengan orang-orang yang datang dari luar. Yang membawa penyakit ini adalah orang-orang yang pergi merantau. Mereka pulang karena menderita HIV/AIDS. Bahkan ada yang tidak menyadarinya hingga terjangkit pada orang lain. Apalagi kalau mereka yang sudah berkeluarga. Mereka baru menyadarinya saat mengecek di rumah sakit.
Saat seorang menderita penyakit ini, dia serta merta mendapat sanksi sosial. Mereka akan dipinggirkan dari masyarakat pada umumnya.
Bahkan tidak sedikit keluarga dan masyarakat yang menjauhkan penderita di tempat terpisah dari pemukiman penduduk. Mereka hidup sendiri dengan perawatan seadanya.