Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Guru, Saya Bangga Menjadi Anak Seorang Guru

25 November 2019   12:51 Diperbarui: 25 November 2019   14:05 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru adalah salah satu status mulia. Di masyarakat kami Manggarai, Flores, NTT , status guru mempunyai tempat spesial di hati masyarakat.

Guru pun mendapat sebutan yang sangat istimewa. Masyarakat biasa memanggil guru dengan menambahkan kata "Tuang". "Tuang Guru."

"Tuang" kerap identik dengan status orang yang berposisi tinggi, terhormat dan istimewa di tengah masyarakat.

Selain guru, beberapa orang yang kerap mendapat gelar panggilan ini adalah para pastor (pemimpin agama Katolik), para tua adat, perawat kesehatan dan orang yang berasal dari kalangan raja. Panggilan ini tentunya melekat dengan sejarah masa lalu yang mana status-status itu berperan penting dalam kehidupan sosial.

Sebutan "tuang guru" pun menjadi akrab di telinga kami sejak kecil. Ini karena ayah kami adalah seorang guru.

Setiap kali kami pergi ke kampung, banyak orang yang memanggil dengan sebutan "tuang guru." Bahkan panggilan itu masih melekat hingga sekarang ini.

Sebutan itu terlihat istimewa. Betapa tidak, di tahun 90-an di kampung ayah kami masih begitu langkah orang yang mengambil profesi menjadi guru. Hal ini disebabkan oleh pengaruh ekonomi dan akses untuk kuliah mengambil jurusan keguruan masih sulit. Untuk mengambil jurusan keguruan, masyarakat harus keluar dari pulau.

Kalau dibandingkan sekarang, begitu banyak orang yang menggeluti profesi menjadi guru. Guru menjadi pemandangan umum di kampung ayah. Akses untuk belajar menjadi guru tidak lagi perlu pergi tempat jauh karena sudah tersedia di kabupaten.

Bahkan beberapa di antaranya sulit mendapatkan tempat mengajar setelah tamat karena berlimpahnya orang yang mengambil jurusan keguruan yang sama sementara sekolah tidak membutuhkan jurusan yang diambil oleh mereka itu.  

Lebih dari tiga puluh tahun, ayah mengabdikan diri menjadi guru di sekolah menengah pertama di kota kami. Dia mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial, secara khusus mata pelajaran Geografi.

Saya masih ingat karena pengaruh mata pelajaran ini, setiap kali kami berkumpul sebagai keluarga, ayah selalu memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan ilmu sosial.

Seperti misal, dia akan bertanya tentang batas-batas dari negara Indonesia, jumlah provinsi di Indonesia, nama-nama pulau dan lain sebagainya.

Ini menjadi mungkin terjadi karena TV dan Hand phone belum menjadi hal yang sangat umum di tengah keluarga dan masyarakat pada waktu itu.  

Masih lekat juga dalam ingatan saya kala ayah mesti berjalan hampir sepuluh kilometer hanya pergi untuk mengajar. Pergi agak pagi dan tiba di rumah hampir pukul dua siang.

Situasi mulai agak berubah saat dia membeli kendaraan roda dua. "Second hand" kendaraan roda dua dari salah seorang pengusaha di kota kami. Maklumlah pada waktu itu populasi kendaraan sangat minim.

Yang bisa membeli kendaraan biasanya mereka yang berasal dari kalangan atas dan mempunyai pendapatan besar. Sementara guru masih mesti membanting tulang untuk mendapatkan satu kendaraan.

Kalau dibandingkan sekarang, banyak guru yang pergi mengajar tanpa mempertimbangkan jarak. Semuanya ini terjadi karena sarana transportasi yang memadai dan akses yang mudah.  

Berkat kendaraan roda dua itu, perjalanan ke sekolah pun menjadi gampang. Ayah pun bisa menghemat energi untuk mengajar di sekolah.
 
Selepas tiga puluh tahun lebih mengabdi di sekolah, sang ayah tentunya sudah mengecam banyak pengalaman sebagai seorang guru. Dedikasinya selama sekian waktu itu pun mengantarkannya menjadi seorang kepala sekolah di salah satu sekolah swasta di kota kami.

Aneka pengalaman telah memperkaya dirinya. Pengalaman-pengalaman itu pun secara tidak langsung berdampak pada kami sekeluarga. Karena pengalaman-pengalaman itu, saya patut berkata kalau saya bangga menjadi anak seorang guru.

Ada dua alasan saya bangga menjadi seorang anak seorang guru.

Pertama, cara pendidikan ayah di rumah adalah juga model pendidikan di sekolah, begitu pun sebaliknya.

Sebagai seorang guru, ayah tidak pernah melihat keistimewaan dalam mendidik kami. Dia mendidik kami laiknya dia mendidik murid-murid di sekolah.

Kedisiplinan yang diterapkan di sekolah juga diterapkan kepada kami anak-anak di rumah.

Prinsip ayah adalah pendidikan bagi para murid mesti menjadi pendidikan bagi anak-anak. Karena saat kami, anak-anak sukses berkat didikan ayah sebagai seorang guru, dia pun tidak mempunyai beban untuk menerapkan proses pendidikan itu kepada para murid di sekolah.

Puji Tuhan, dari kami empat bersaudara, kami semua berhasil menyelesaikan pendidikan akhir dan mendapat kerja yang baik.

Kedua, sebagai seorang guru, ayah dikenal oleh banyak orang. Tentunya, yang mengenal ayah umumnya adalah mantan murid-muridnya.

Saya masih ingat seorang meminta pertemanan di salah satu platform media sosial hanya karena nama belakang saya serupa dengan nama ayah. Mereka meminta pertemanan karena ayah saya sebagai mantan guru.

Bahkan beberapa di antaranya menanyakan kabar tentang ayah dan menyampaikan salam kepada ayah. Mereka pastinya menimbah pengalaman tertentu dari figur ayah kami sebagai seorang guru. Dengan pengalaman itu, mereka ingin membaginya kepada kami, anak-anaknya.

Menjadi anak seorang guru adalah kebanggaan bagi saya dan mungkin bagi anak-anak guru yang lainnya. Pengalaman dan pendekatan mereka sebagai guru menjadi harta kekayaan yang sulit dibahasakan, tetapi selalu membekas di hati.

Guru pun mempunyai status yang istimewa, tidak hanya di lingkup sosial tetapi juga di hati keluarga. Jasa seorang guru tak terkira. Mereka adalah garda terdepan bagi perkembangan pendidikan kita.

Selamat Hari Guru!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun