Tentunya, impian dan niat kaum perempuan ini menunjukkan kesukaan mereka pada sepak bola.
Sepak bola mesti dinikmati dan dirayakan dengan terbuka dan bebas. Sepak bola tidak dinikmati dan dirayakan dengan kungkungan dan rantai tetapi lewat adanya kebebasan dan persamaan derajat.
Joyce Cook, kepala pendidikan dan tanggung jawab sosial dari FIFA mengatakan kepada BBC Sport (10/10/19) bahwa FIFA bersungguh-sungguh dan berkomitmen kalau semua fans mempunyai hak yang sama, termasuk wanita, untuk menonton pertandingan-pertandingan sepak bola.
Apa yang terjadi di dunia sepak bola Iran juga terjadi di Arab Saudi. Tahun lalu, negara Arab Saudi telah mengijinkan kaum perempuan untuk menonton sepak bola.
Dari Iran untuk Kita, Suporter Tanah Air
Kita mesti bersyukur kalau di negara kita, perempuan dan laki-laki bisa bersatu pada dan bersama-sama menonton sepak bola di stadio. Kita bisa berteriak dan merayakan bersama-sama penampilan tim kesayangan kita.
Bayangkan kalau kita tidak bebas atau tidak diijinkan menonton sepak bola di stadion. Karenanya, sangat disayangkan kalau kesempatan menonton sepak bola di stadion tidak digunakan dengan bertanggung jawab.
Bentrok antara suporter dan tindakan anarkis yang merusak fasilitas publik adalah contoh di mana kita tidak menghargai kesempatan kita sebagai suporter.
Kekerasan di dunia sepak bola seperti ini tidak hanya menjadi wajah hitam di dunia sepak bola tetapi ini juga menunjukkan kemunduran kita sebagai suporter.
Pendek kata, tindakan kekerasan karena sepak bola menunjukkan kalau kita tidak tahu memanfaatkan sepak bola sebagai kesempatan untuk bergembira, merayakan identitas kita sebagai orang Indonesia dan momen untuk bersatu sebagai satu tim dan negara.
Seharusnya, sepak bola dirayakan dengan sukacita. Kalah dan menang adalah bagian dari pertandingan. Kita tidak hanya tahu dan mau merayakan kemenangan, tetapi kita mesti tahu dan terbuka menerima kekalahan. Belajar menerima kekalahan adalah cobaan dan latihan mental terbesar untuk kita, kaum suporter.