Mantan Presiden Korea Selatan, Park Geun-Hye resmi masuk penjara (31/3). Penahanannya menjadi salah satu berita yang menghiasi kolom internasional pekan lalu. Betapa tidak, seorang mantan presiden yang diturunkan menurut aturan konstitusi dan hukum mesti mengalami nasib laiknya seorang tahanan. Tidak ada kamar elit. Tidak ada perlakuan khusus di penjara. Park Geun-Hye adalah seorang yang bersalah dan patut diproses menurut hukum yang berlaku.
Sekilas kasus Park Geun-Hye berhubungan dengan penyalahan penggunaan wewenang dan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan rekan-rekannya. Penyelewengan ini menghadirkan protes besar di Korea Selatan. Alhasil, Mahkamah Konstitusi dengan keputusan penuh menurunkan Park Geun-hye dari kepemimpinannya.
Tidak ada reaksi besar dan tandingan dari rakyat yang menolak langkah Mahkama Konstitusi. Di sini rakyat sependapat kalau kesalahan seorang pemimpin mesti diadili menurut hukum yang berlaku.
Ini mungkin mengingatkan kita kalau menjadi penguasa (pemimpin) itu hanyalah seorang pelayan dan amanah rakyat. Karenanya, kekuasaan itu tidak boleh digunakan untuk kepentingan sebagian kelompok dan merugikan sebagiannya. Rakyat mempunyai hak untuk "menghakimi" dan melengserkan pemimpin yang tidak becus.
Yang menarik untuk disimak dari kasus mantan presiden Korea Selatan ini yakni proses hukum yang tidak tebang pilih dan tidak tarik ulur. Kalau memang sudah bersalah menurut aturan hukum dan konstitusi, yang bersangkutan mesti diproses hukum. Kalau ada bukti-bukti yang kuat, yang bersalah mesti segara ditarik ke lembaga pesakitan.
Waktu saya membaca salah satu komentar pembaca berita di Kompas.com tentang penahanan Park Geun-hye, saya juga mempunyai pikiran yang sama. Kapan proses hukum Indonesia bisa mengikuti jejak proses hukum negara seperti Korea Selatan?
Kita coba simak salah satu kasus yang sementara diproses di negera kita. Kasus korupsi E-KTP. Kelihatannya kasus ini hangat saat muncul nama-nama yang cukup berpengaruh di dunia politik tanah air. Tetapi kehangatannya perlahan mendingin. Belum ada kejutan dari lembaga hukum untuk menarik satu demi satu orang-orang yang dinilai terlibat. Malah yang terjadi drama dari nama-nama yang pernah beredar di media.
Kasus korupsi E-KTP hanyalah sekian dari kasus-kasus korupsi lainnya. Penahanan para koruptor belum memunculkan efek jerah dan kepuasan publik. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah karena hukum kita terlalu lembut memperlakukan para (tertuduh) koruptor?
Kasus korupsi di negara kita malah seperti cerita sinetron. Ada yang berperang sebagai protagonis dan antagonis.
Mereka yang berperan protagonis adalah mereka yang sudah masuk ke penjara tetapi dari balik sel mereka bernyanyi menandakan kalau ada yang masih ada dan berkeliaran di luar sel. Mungkin efek balas dendam dan sakit hati. Mereka yang sudah tinggal di dalam sel bernyanyi mengganggu yang masih duduk-duduk manis di bangku kekuasaan. Pertanyaannya, setelah sekian lama berada di dalam sel, mengapa mereka baru “bernyanyi” dan mengapa lembaga hukum kita baru sadar?
Yang antagonis adalah mereka yang coba menyembunyikan noda mereka dengan mengelak nyanyian yang muncul dari tokoh-tokoh protagonis di dalam penjara. Pelbagai dalil pun muncul. Ada yang merasa diri difitnah. Ada yang coba untuk mengingat-ingat apakah pernah bertemu dengan orang yang disangka sebagai pelaku korupsi. Ada yang merasa tidak tahu-menahu dengan apa yang diberitakan.
Yang membuat alurnya menarik adalah saat lembaga hukum bermain seperti wasit. Di depan konfrensi pers mereka memberikan keterangan pers yang cukup menyita keingintahuan publik. Contohnya, saat lembaga hukum menyampaikan kalau ada nama baru yang akan terlibat dan dinyatakan tersangka nantinya. Tentunya keterangan pers ini memunculkan tanda tanya publik. Karena penasaran, publik pun diarahkan untuk menonton ceritanya. Alhasil alur cerita semakin panjang. Syukur kalau nanti akhir cerita sesuai dengan harapan para penonton. Tetapi kalau tidak, kasus korupsi menambah kasus-kasus lain yang mengambang di permukaan tanah air.
Penahanan mantan Presiden Korea Selatan mestinya menjadi pembelajaran bagi dunia hukum kita. Tidak mengulur-ulur proses hukum. Tidak tebang pilih. Siapa saja yang terlibat dalam penyelewengan kekuasaan mesti diproses menurut aturan hukum tertentu.
Saya kira Korea Selatan tidak malu telah menahan mantan Presiden mereka. Mungkin mereka malah berbangga karena proses hukum ditegakkan. Hukum itu ada untuk semua orang tanpa mempertimbangkan pangkat, status dan posisi. Yang memalukan saat proses hukum itu hanya berjalan satu kaki. Hanya orang-orang tertentu yang diproses sementara yang lain diselamatkan. Ini lebih memalukan karena kita menyembunyikan orang-orang bersalah dari mata hukum. Jauh lebih berbangga saat hukum kita memroses siapa saja yang telah menyelewengkan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok,***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H